Hari ketiga! Yap, hari itu kami hendak mengunjungi desa yang rupawan, tidak lain ialah Desa Waerebo. Kami berangkat dari tempat penginapan di Ruteng pada pukul 9 WITA. Dengan mobil yang dikemudikan Om Raka, kami menembus Taman Wisata Alam Ruteng. Saat itu, saya menoleh ke kiri dan kanan, banyak pohon-pohon berjajar. Jalanan berlika-liku dengan beberapa lubang besar di tengahnya. Oh, rupanya kami telah memasuki kawasan hutan, jauh dari sinyal dan hiruk pikuk kota. Perjalanan menuju Waerebo memang sedikit memacu jantung. Banyak tikungan tajam di sepanjang lintasan Taman Wisata Alam Ruteng.
Setelah melewati hutan, kami tiba di kawasan pedesaan. Anak-anak SD tampak berkeliaran seusai sekolah. Tidak tahan melihat keluguan anak-anak setempat, kami pun berhenti menghampiri mereka.
Kami membagikan sebagian permen yang telah kami bawa dari Jakarta. Sebelum memberikan permen, kami mengajak beberapa anak untuk menyanyikan salah satu lagu nasional serta membacakan butir Pancasila. Sayangnya, mereka tidak mengetahui lagu nasional maupun Pancasila. Ah, ingin rasanya singgah dan mengajarkan beberapa lagu nasional :( Namun, kami harus melanjutkan perjalanan agar tidak tiba terlalu malam di Waerebo.
Dokumentasi Ika Andriani, 2016 |
Dokumentasi Ika Andriani, 2016 |
Setelah melalui kawasan desa, panorama perjalanan yang disuguhkan sungguh menarik. Tepian laut berhiaskan Pulau Mules di tengah-tengahnya. Lagi-lagi, saya hanya dapat menyaksikan dengan mata saya sendiri, tanpa sempat merekamnya dalam kamera saya. Seiring dengan berjalannya kendaraan, kondisi jalan terlihat semakin buruk. Beberapa kali, kami harus turun dari mobil untuk menjaga keseimbangan kendaraan. Jika berpapasan dengan mobil lain, Om Raka harus pintar mengatur tak-tik karena jalan yang dilewati cukup sempit.
Dokumentasi Ika Andriani, 2016 |
Di tengah perjalanan, kami juga dihadang oleh penduduk setempat yang melakukan pengaspalan di siang hari. Pengaspalan tersebut cukup memakan waktu pengunjung maupun penduduk yang hendak melintas. Kami harus rela menunggu sampai warga mempersilakan kami lewat.
Setelah menempuh empat jam perjalanan, kami tiba di Desa Denge. Jika ingin bertandang ke Waerebo, sebaiknya singgah terlebih dahulu di Pusat Informasi dan Perpustakaan Waerebo di Desa Denge. Bapak Blasius merupakan salah satu penduduk yang akan menyambut tamu di bagian pusat informasi.
Saat ini, biaya masuk Desa Waerebo sebesar Rp 200.000,00/orang selama satu hari. Jika ingin bermalam di Waerebo, biaya masuk per orang dikenakan Rp 345.000,00.
Untuk menuju kawasan Waerebo, kami harus mendaki gunung sepanjang 9 km selama tiga jam. Jalan yang kami lalui merupakan jalan setapak di tengah belantara hutan. Oleh karena itu, setiap rombongan tamu diwajibkan menggunakan ranger dari penduduk lokal. Saat musim hujan, jalan setapak menjadi sangat licin. Tidak hanya itu, salah satu teman saya terkena lintah saat di Waerebo. Harus ekstra hati-hati untuk menuju surga tersembunyi itu.
Selama 1 km terakhir, medan perjalanan yang ditempuh berupa turunan. Sebelum memasuki Waerebo, kami harus singgah terlebih dahulu di sebuah saung dan membunyikan kentongan sebagai tanda sinyal masuk kepada warga Waerebo.
Pemandangan dari atas lembah |
Selanjutnya, satu persatu dari rombongan kami mulai mengulas senyum di bibir, pertanda senang karena rasa lelah kami terbayar. Perlahan, bulir-bulir keringat kami yang menetes berganti jadi wajah ceria, bersyukur telah berhasil menginjakkan kaki di Waerebo. Desa Waerebo memang seperti surga tersembunyi di antara pegunungan. Tidak hanya itu, penduduknya juga ramah menyambut kedatangan kami. Sebelum beristirahat, kami harus bertandang ke rumah gendang (rumah utama) untuk melaksanakan upacara penyambutan oleh ketua adat. Tidak lupa, kami menyisihkan uang sebagai sesajen upacara. Setelah upacara penyambutan selesai, kami dipersilakan beristirahat di rumah tamu.
Desa Waerebo memang menyajikan suasana nyaman bagi penduduk kota yang ingin melepas penat. Jauh dari ingar bingar kota. Hidup dengan listrik secukupnya. Tiada sinyal sama sekali. Tempat yang tepat untuk melupakan urusan sejenak. Akhirnya, kami sibuk menyaksikan panorama berlukiskan awan dan taburan bintang di malam hari. Saat malam hari, kami kerap melihat bintang jatuh melintas langit Waerebo. Sungguh pengalaman yang tidak terlupakan.
Dokumetasi Ika Andriani, 2016 (Masih belajar cara memotret gugusan bintang) |
Waerebo yang dikelilingi oleh pegunungan |
Warga Waerebo mengikuti garis keturunan patrilineal. Jika salah satu wanita Waerebo menikah dengan pria dari luar Waerebo, wanita itu harus tinggal bersama pria yang dinikahinya di luar Waerebo. Sebaliknya, pria Waerebo yang menikah dengan wanita dari desa lain harus mengajak istrinya tinggal di Waerebo.
Tamu yang datang ke Waerebo dipersilakan untuk membawa buku sebagai sumbangan perpustakaan Waerebo. Pasalnya, anak-anak Waerebo yang sekolah harus melalui perjalanan 9 km menuju Desa Denge. Beberapa anak juga memilih untuk tinggal di rumah saudara di Desa Denge agar lebih terjangkau menuju sekolah.
Masyarakat Waerebo rupanya telah terlatih untuk berbicara Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Beberapa guru dari luar NTT datang dan tinggal di Waerebo untuk mengajar kemampuan berbahasa. Desa Waerebo memang telah dipersapkan menjadi salah satu destinasi wisata di Flores.
Setiap satu tahun sekali, warga Waerebo menggelar upacara adat. Upacara tersebut dinamakan Penti. Setiap tanggal 16 November, banyak turis manca negara datang untuk menyaksikan ritual tahunan ini, Ya, Penti mampu menyedot ratusan pengunjung untuk datang ke Waerebo. Tidak hanya itu, keluarga dan sanak saudara penduduk juga turut datang memeriahkan acara Penti.
Oh ya, saat mampir, kami juga dapat mencicipi dan membeli kopi khas Waerebo. Bagi saya, kopi hangat seperti salah satu hidangan mewah karena dapat menghangatkan tubuh saya yang kedinginan saat itu ;)
Berbincang dengan warga di pagi hari Dokumentasi Ika Andriani, 2016 |
0 comments:
Post a Comment