Singkat cerita, awal tahun 2016 saya mengamati Facebook salah satu teman, Ika Andriani, yang baru saja mengunjungi Flores. Seketika itu pula, saya berceletuk, "Wih, seru banget". Tidak lama, saya mendapatkan balasan dari kakak yang biasa disapa Kak Aki itu, "Yuk ikut 1--8 Oktober nanti mau balik lagi".
Saya langsung bertanya pada Mama, "Boleh nggak aku pake sebagian dari tabunganku? Hehehe"
Alhamdulillah setelah berdiskusi sana-sini, saya diizinkan untuk pergi, dengan syarat tidak melalaikan kewajiban sebagai mahasiswa semester akhir.
Trip kali ini terbagi menjadi dua jenis, overland dan Live on Board (LoB). Kegiatan overland diikuti oleh tujuh orang yang beragam karakternya. Saya belum mengenal sebagian dari mereka. Sebagian lainnya, saya pernah bertemu dan bergabung dalam beberapa open trip yang diselenggarkan oleh Kak Aki. Ya, kali ini saya ingin menceritakan perjalanan sepanjang Ende sampai Labuan Bajo terlebih dahulu.
Hari itu banyak pengalaman yang serba pertama. Pertama kali melakukan perjalanan udara selama enam jam. Pertama kali menaiki pesawat yang mengharuskan saya transit sebanyak tiga kali. Pertama kali merasakan duduk di dalam pesawat perintis. Pertama kali menginjakkan kaki di NTT. Banyak peristiwa baru. Saya tidak pernah menyangka bahwa naik pesawat perintis memiliki sensasi yang serupa dengan naik bus lokal, perbedaannya bus ini bisa terbang. Saat itu, saya juga benar-benar buta dengan persoalan transit dan tukar pesawat. Untungnya, saya ditemani beberapa teman yang berangkat dari Cengkareng. Saya menaki pesawat dari Cengkareng, transit di Surabaya, lalu tukar pesawat kecil di Kupang, kemudian terbang menuju Ende.
Pada awalnya, saya mengkhawatirkan kemampuan saya beradaptasi dengan teman-teman baru ini. Rasanya, perbedaan umur di antara saya dan mereka dapat menghambat komunikasi saya. Ya, saya termasuk orang yang tertutup dan hemat berbicara. Rupanya, perbedaan usia tidak menjadi penghalang dalam percakapan kami.
Ketika di Kupang, pesawat perintis yang hendak kami tumpangi ternyata sudah menunggu pesawat kami yang tertunda keberangkatannya. Tidak ada papan pengumuman di Bandara El Tari. Petugas setempat hanya menggunakan mulutnya secara mandiri untuk memanggil penumpang dengan menyebut destinasi tujuan setiap pesawat, pada waktu sesuka hatinya. Kami pun segera berangkat menuju Ende. Ohya, kami disuguhi pemandangan cantik di sepanjang perjalanan Kupang hingga Ende. Saat itu pula, saya menggumam "Seperti yang di foto-foto, ya".
Dokumentasi oleh Ardha Lubis |
Kami pun mulai menjelajahi daerah Ende dengan mobil. Perjalanan dari Ende ke Moni ternyata serupa dengan perjalanan Riau ke Bukittinggi.
Pesawat perintis yang kami tumpangi |
Bandara H. Hasan Aroeboesman |
Suguhan yang kami temui di tenga perjalanan Ende--Moni |
Destinasi pertama kami ialah Taman Pancasila. Waktu kami berkunjung bertepatan dengan Hari Kesaktian Pancasila. Kami pun mengulik sedikit informasi lahirnya butir-butir Pancasila tersebut. Konon, ide lima butir Pancasila tercetus dari lima cabang pohon yang terdapat di Taman Pancasila. Oleh karena itu, Ende juga disebut sebagai Kota Pancasila.
Ende Kota Pancasila |
Tidak terasa, perjalanan selama lima jam telah kami lalui hingga akhirnya tiba di Moni. Kami bermalam selama satu hari di penginapan setempat lalu melanjutkan perjalanan dari pukul 04.00 WITA.
Catatan:
- Sepanjang perjalanan di Pulau Flores, sinyal yang tersedia hanya Telkomsel
- Siapkan selalu pakaian hangat untuk malam hingga pagi hari
- Selama perjalanan darat, tidak ada toko maupun warung yang menjual makanan. Bawalah makanan sebelum memulai perjalanan
0 comments:
Post a Comment