10.01.2016

Overland Dari Ende Hingga Labuan Bajo - Hari 1

Kali ini, saya ingin menceritakan keinginan saya sejak tahun 2009, menabung untuk pergi ke suatu tempat yang saya inginkan. Pada saat itu saya mulai menabung secara sederhana, saya menggunakan celengan dan sisa tabungan sekolah sewaktu SMP. Ketika celengan mulai penuh, saya menitipkan koin yang telah terkumpul pada Mama. Lucu sekali rasanya mengenang mimpi saya yang sederhana itu :") Akan tetapi, metode menabung tersebut masih saya terapkan hingga saat ini.

Singkat cerita, awal tahun 2016 saya mengamati Facebook salah satu teman, Ika Andriani, yang baru saja mengunjungi Flores. Seketika itu pula, saya berceletuk, "Wih, seru banget". Tidak lama, saya mendapatkan balasan dari kakak yang biasa disapa Kak Aki itu, "Yuk ikut 1--8 Oktober nanti mau balik lagi".

Saya langsung bertanya pada Mama, "Boleh nggak aku pake sebagian dari tabunganku? Hehehe"

Alhamdulillah setelah berdiskusi sana-sini, saya diizinkan untuk pergi, dengan syarat tidak melalaikan kewajiban sebagai mahasiswa semester akhir.


Trip kali ini terbagi menjadi dua jenis, overland dan Live on Board (LoB). Kegiatan overland diikuti oleh tujuh orang yang beragam karakternya. Saya belum mengenal sebagian dari mereka. Sebagian lainnya, saya pernah bertemu dan bergabung dalam beberapa open trip yang diselenggarkan oleh  Kak Aki. Ya, kali ini saya ingin menceritakan perjalanan sepanjang Ende sampai Labuan Bajo terlebih dahulu.

Hari itu banyak pengalaman yang serba pertama. Pertama kali melakukan perjalanan udara selama enam jam. Pertama kali menaiki pesawat yang mengharuskan saya transit sebanyak tiga kali. Pertama kali merasakan duduk di dalam pesawat perintis. Pertama kali menginjakkan kaki di NTT. Banyak peristiwa baru. Saya tidak pernah menyangka bahwa naik pesawat perintis memiliki sensasi yang serupa dengan naik bus lokal, perbedaannya bus ini bisa terbang. Saat itu, saya juga benar-benar buta dengan persoalan transit dan tukar pesawat. Untungnya, saya ditemani beberapa teman yang berangkat dari Cengkareng. Saya menaki pesawat dari Cengkareng, transit di Surabaya, lalu tukar pesawat kecil di Kupang, kemudian terbang menuju Ende.

Pada awalnya, saya mengkhawatirkan kemampuan saya beradaptasi dengan teman-teman baru ini. Rasanya, perbedaan umur di antara saya dan mereka dapat menghambat komunikasi saya. Ya, saya termasuk orang yang tertutup dan hemat berbicara. Rupanya, perbedaan usia tidak menjadi penghalang dalam percakapan kami.


Ketika di Kupang, pesawat perintis yang hendak kami tumpangi ternyata sudah menunggu pesawat kami yang tertunda keberangkatannya. Tidak ada papan pengumuman di Bandara El Tari. Petugas setempat hanya menggunakan mulutnya secara mandiri untuk memanggil penumpang dengan menyebut destinasi tujuan setiap pesawat, pada waktu sesuka hatinya. Kami pun segera berangkat menuju Ende. Ohya, kami disuguhi pemandangan cantik di sepanjang perjalanan Kupang hingga Ende. Saat itu pula, saya menggumam "Seperti yang di foto-foto, ya".

Dokumentasi oleh Ardha Lubis
Sesampainya di Bandara H. Hasan Aroeboesman, Ende, saya lebih terkejut lagi. Bandara tersebut seperti puskesmas yang mungil. Maklum saja, ini perjalanan pertama saya ke pedalaman.
Kami pun mulai menjelajahi daerah Ende dengan mobil. Perjalanan dari Ende ke Moni ternyata serupa dengan perjalanan Riau ke Bukittinggi.
Pesawat perintis yang kami tumpangi
Bandara H. Hasan Aroeboesman

Suguhan yang kami temui di tenga perjalanan Ende--Moni


Destinasi pertama kami ialah Taman Pancasila. Waktu kami berkunjung bertepatan dengan Hari Kesaktian Pancasila. Kami pun mengulik sedikit informasi lahirnya butir-butir Pancasila tersebut. Konon, ide lima butir Pancasila tercetus dari lima cabang pohon yang terdapat di Taman Pancasila. Oleh karena itu, Ende juga disebut sebagai Kota Pancasila.

Ende Kota Pancasila
Setelah itu, kami bergegas menuju Moni untuk bermalam di sana. Selama perjalanan, saya dan teman-teman berbincang dengan supir kami yang juga penduduk lokal Flores, Om Raka. Om Raka mengatakan bulan Oktober sering terjadi hujan di Flores. Saat bulan Oktober, suhu udara pada malam hingga pagi hari cukup dingin. Jika ingin bertandang, Om Raka menyarankan untuk berkunjung pada bulan April hingga Juni. Pada bulan Agustus, cuaca di Flores sangat terik hingga pepohonan mengalami kekeringan.

Tidak terasa, perjalanan selama lima jam telah kami lalui hingga akhirnya tiba di Moni. Kami bermalam selama satu hari di penginapan setempat lalu melanjutkan perjalanan dari pukul 04.00 WITA.



Catatan:
  • Sepanjang perjalanan di Pulau Flores, sinyal yang tersedia hanya Telkomsel
  • Siapkan selalu pakaian hangat untuk malam hingga pagi hari
  • Selama perjalanan darat, tidak ada toko maupun warung yang menjual makanan. Bawalah makanan sebelum memulai perjalanan

0 comments:

Post a Comment