3.31.2018

Tek-Tok Melalui Gunung Lawu


Bulak Peperangan is magically breathtaking!
Semua bermula dari tawaran Kak Ajeng: ngajak pergi ke gunung yang belum pernah kami kunjungi di Jawa. Dari beberapa kandidat gunung, akhirnya terpilih lah Gunung Lawu dengan ketinggian 3.265 mdpl. 

Tapi setiap kali saya mengorek info Gunung Lawu dari internet, kata mistis, misterius, angker, dan kawan-kawannya seperti sudah melekat dengan gunung ini. Ya meskipun bukan itu yang dipermasalahkan, tapi tetap saja status horor itu membuat saya berpikir dua kali haha. Nama Lawu yang sepertinya tidak santer disebut membuat saya beranggapan medannya sulit. 

Tanpa sadar, waktu mendaki sudah kurang dari satu hari saja. Kondisi badan saya justru mulai memburuk, ditandai dengan bersin yang tak terhitung, tekanan darah menurun, dan ingus yang terus mengucur. Latihan fisik di sela-sela kerja pun terasa kurang. 

Sempat terlintas di pikiran saya untuk membatalkan diri. Tapi rasanya kok tanggung ya. Barang-barang sudah kadung di-packing juga.

Kami memutuskan lewat jalur Candi Cetho, Karanganyar. Jalur ini merupakan jalur terpanjang dibandingkan Cemoro Sewu dan Cemoro Kandang. Untungnya, jalur yang bervegetasi rapat ini termasuk landai. Mungkin itu yang menyebabkan jalur ini dikategorikan paling jauh ya. Jalur Candi Cetho juga ada sumber airnya. Tapi saat musim hujan, trek jalanannya menjadi licin.
Candi Cetho 
Sore itu setibanya di basecamp, hujan deras mengguyur selama 3 jam lebih. Alhasil rencana kami untuk bemalam di gunung mendadak buyar. Kami memutuskan untuk tidur di basecamp, lalu berangkat subuh dan pulang sore harinya alias tek-tok. Ini kali pertama saya mencoba tek-tok dengan membawa daypack berisi pakaian ganti serta cemilan penambah energi.

Kami berenam mulai mendaki beberapa menit sebelum subuh. Ternyata, jalur Candi Cetho memiliki berbagai persimpangan jalan sehingga rawan terpisah satu sama lain, apalagi saat gelap. Jadi, alangkah baiknya tetap berdekatan satu tim. 

Jalur Candi Cetho memiliki 5 pos sebelum sampai di Warung Mbok Yem. Hah warung? Iya, saya juga bingung kok ada warung di atas gunung, jual makanan pula.
Asyiknya, pendaki bisa menginap di Warung Mbok Yem gratis yang penting beli makanannya. 

Awal mula perjalanan dari pos 1 sampai pos 3, saya masih bisa ber-hahahehe-ria sambil sesekali mengelap ingus. Setelahnya, saya mulai mengeluh, kenapa jalannya muter-muter ya? Kapan sampainya? Tapi percayalah semua itu akan TERBAYAR. 

Iya. Beneran terbayar.

Begitu sampai pos 5 atau Bulak Peperangan, kami mulai menikmati buah manis mendaki. Kalau digambarkan, Bulak Peperangan rasanya seperti negeri dongeng dengan sabana yang luas. Meski panas terik, saya mau sekali gegoleran guling-gulingan seharian di sana.

Eh, tapi jangan senang dulu. Ternyata ujian yang sesungguhnya masih menanti. Perjalanan dari pos 5 menuju Warung Mbok Yem benar-benar terasa jauhnya. Sumpah serapah mulai meramaikan suara hati. Mau nangis, tapi kok nggak ada gunanya juga. Ini belum apa-apa, gimana nanti turunnya? 
Sabana yang terlampau luas ini bikin saya bertanya-tanya, "Mana ujungnya?" 
Saya sudah tidak peduli lagi seberapa lelet saya berjalan. Lama kelamaan, pikiran saya sudah tidak mau memikirkan apa-apa lagi, yang penting terus melangkah. Entah nantinya saya akan sampai atau ambruk di jalan. Pendaki lain yang menyapa saya juga mengatakan, "Kok lemes banget?"

Saya cuma bisa menjawab dengan senyum getir.

Detik itu, saya bersumpah tidak akan naik gunung lagi. Ya meskipun niat itu sering terlintas tiap naik gunung, nyatanya saya tetap menerima tawaran mendaki berikutnya hehe.

Akhirnya, kami tiba di Warung Mbok Yem yang teletak beberapa meter di bawah Puncak Hargo Dumilah. Warung ini menjual nasi pecel, telur, sampai mi instan. 

Setelah istirahat sejenak, kami beranjak menuju Puncak Hargo Dumilah yang durasi tempuhnya berkisar 20 menit dari Warung Mbok Yem.

Saat berhasil menapakkan kaki di puncak, rasa syukur mulai meluap dalam diri saya. Senang karena saya dapat bersandar pada tugu Hargo Dumilah. Tapi, jangan heran karena tampang saya masih terlihat datar dari luar.

Mejeng dikit dengan wajah datar gapapa kan ya
Langit kala itu hanya tampak putih polos. Saya pun membayangkan cantiknya horizon itu kalau matahari baru menampakkan diri atau saat senja nyaris menjemput. Dihiasi oleh satu-dua ekor burung jalak yang berhabitat di sana.

Tetap sambil mikir gimana caranya turun ke basecamp dengan sukses. Atau menginap saja di Mbok Yem?

Namun, tidak ada waktu lama untuk bercengkrama dengan puncak tertinggi Gunung Lawu. Beberapa teman saya mengambil langkah-langkah besar saat turun untuk mengejar waktu. Sialnya, trek yang licin itu baru terasa ketika turun. Teman-teman saya pun sempat tergelincir.

Kalau saya?

Nggak perlu ditanya jatuh bangun berapa kali. Ketika belum melewati pos 4, kaki saya sudah gemetar. Entah tangan ini sudah mencabut berapa banyak daun akibat mencari pegangan. 

Akhirnya kami berhenti sejenak di pos 3.

Entah kenapa saat itu saya mulai merasa mual. Belakangan saya baru sadar ternyata masuk angin bisa menyebabkan mual. Mungkin karena baju sudah berkali-kali basah-kering serta kurang makan minum. Padahal saya bawa baju ganti, tapi tidak dimanfaatkan ha ha.

Berhubung kaki sudah tidak stabil, teman saya, Kak Rizal si kuncen gunung, menyuruh saya untuk berjalan di belakang Amal, si pendaki paling woles -dia bisa naik turun gunung sambil nyanyi-.

Saya manut saja berjalan di belakang Amal sampai akhirnya kami berdua terpisah dengan empat teman kami. Sepanjang perjalanan, kami berjalan berdua sambil sesekali berpapasan dengan pendaki yang berlawanan arah.

Entah kenapa malam itu rasanya panjang sekali. Pos 1 rasanya tak kunjung kami temui. Mata saya lama kelamaan mulai berhalusinasi dan membayangkan hal-hal mistis. 

Kami berdua haus, tapi tak ada yang membawa minum. Akhirnya, saya dan Amal berencana untuk meminta minum kepada siapa saja yang kami temui. Alhamdulillah kami mendapatkan sebotol minum dari salah satu pendaki.

Kami pun terus melanjutkan turun hingga saya benar-benar merasa lelah. 

Saya mengajak Amal untuk duduk di pinggir jalur trek, istirahat entah sampai berapa lama. Untungnya setelah menunggu, kami bertemu kembali dengan tim kami.

Setibanya di bawah, saya senang bisa menyelesaikan perjalanan ini hingga tuntas. Merasakan lucunya sensasi tek tok, meski kenikmatannya tidak akan sama dengan bertenda di gunung.

Tapi daripada tidak sama sekali, lebih baik mencoba tek-tok kan?

Cheers!

Sepanjang Pos 1 sampai Pos 4 vegetasinya rapat
Pos 4 menuju Pos 5 mulai terbuka vegetasinya 
Mencari Warung Mbok Yem 

Awannya ajaib, ya 
Sumber air lagi setelah melewati Pos 5 

Kanan atas-kiri bawah: Akbar, Kak Ajeng, saya, Kak Rizal, Amal, Kak Ryu 

Catatan perjalanan

Total perjalanan naik: 9 jam 10 menit
Basecamp - Pos 1 (04.33-05.17)
Pos 1 - Pos 2 (05.46-06.22)
Pos 2 - Pos 3 (06.22-07.18)
Pos 3 - Pos 4 (08.59-09.48)
Pos 4 - Pos 5 (09.58-11.01)
Pos 5 - Gupakan Menjangan (12.05-12.40)
Gupakan Menjangan - Mbok Yem (12.40-13.43)


Mbok Yem - Puncak Hargo Dumilah: 20 menit
Puncak Hargo Dumilah - Warung Mbok Yem: 14 menit


Turun perjalanan turun: 6 jam
Mbok Yem - basecamp 16.55 - 22.20

0 comments:

Post a Comment