4.12.2020

Titik Tertinggi Kei Kecil di Bukit Masbait


Sedikit kilas balik perjalanan ke Pulau Kei, Maluku Tenggara pada Agustus 2018 lalu. Cukup sulit memang, mengingat peristiwa yang sudah terlewati beberapa tahun yang lalu. Tapi, ada tumpukan draf tulisan yang sempat tak terjamah, menanti untuk diselesaikan.

Perjalanan bersama Hanung ini terbilang cukup spontan. Kami pun menyusun rencana perjalanan serta menyelipkan destinasi Bukit Masbait di dalamnya.

Terletak di Desa Kelanit, Bukit Masbait dikenal sebagai bukit doa bagi umat Katolik. Saat hari raya Paskah, Bukit Masbait menjadi tempat bagi umat Katolik untuk berziarah. Kabarnya, prosesi jalan salib kerap dilakukan saat hari Jumat Agung.

Sempat ada keraguan untuk mengunjungi Bukit Masbait walau sekadar mampir, sebab saya dan Hanung mengenakan kerudung. Ternyata, bukit ini dibuka untuk siapa saja. 

Perjalanan dari pusat kota Langgur menuju Bukit Masbait membutuhkan waktu sekitar 30 menit. Setibanya di Desa Kelanit, tidak ada penanda jelas yang menunjukkan lokasi Bukit Masbait ini. Saat itu, kami dipandu oleh Auli yang sudah beberapa tahun terakhir menetap di Kei. 

Setelah memarkir motor, saya dan Hanung harus berjalan kaki dengan dataran yang cukup curam. Sepanjang jalan, kami disuguhi oleh papan yang menceritakan sejarah nama asli Marga Kelanit. 

Kelanit berasal dari dua suku kata dalam bahasa Sansekerta, yaitu Kel dan Anit. Dalam bahasa Indonesia, Kelanit memiliki arti 'bayi laki-laki' atau 'anak laki-laki'.

Usai menanjak sekitar 15 menit, kami disuguhi oleh sejumlah diorama dengan pesan rohani. Di hadapan kami, patung Kristus Raja telah berdiri tegak dengan ukuran sekitar 3 meter. Patung Kristus Raja tersebut merupakan hadiah dari Paus Paulus II dari Roma sebagai simbol perdamaian.




Penasaran dengan keindahan Kei dari ketinggian, kami pun menapaki tangga besi untuk mencapai menara yang menjadi titik tertinggi Pulau Kei. 

Setibanya di atas, mata kami dimanjakan oleh hamparan laut dengan gradasi biru yang beragam. Anginnya pun sejuk betul. Ah, ingin rasanya bengong seharian di sini.

Saya yakin, tempat ini akan menyajikan momen sunset dengan cara terbaiknya. Namun, kami hanya menghabiskan waktu sesaat serta beranjak dari tempat tersebut.


Padang Pasir Putih di Pantai Ohoidertawun

Usai menyambangi Bukit Masbait, kami mengunjungi Pantai Ohoidertawun.  Di pantai ini, kami bisa menyaksikan fenomena unik: air laut yang surut hingga puluhan kilometer! Masyarakat lokal biasa menamakan peristiwa ini dengan meti kei yang berarti 'pasang surut'.  Titik surut terendah biasanya terjadi pada September hingga Oktober.

Mengutip dari laman Pemerintah Kabupaten Maluku Tenggara, pasir putih di pantai tersebut menjadi sangat luas, lebih dari 200 meter saat air surut. Pasir tersebut juga dapat digunakan untuk sarana sepak bola pantai.

Kami beruntung hari itu karena pantai sedang sepi-sepinya. Saya pun kembali membayangkan suasana Pantai Ohoidertawun ketika senja menjemput malam. 



Pantai Ohoidertawun menjadi destinasi terakhir saya di Pulau Kei. Keesokannya, saya harus bergegas ke Ambon untuk bertolak ke Jakarta. 

Kei Kecil masih menyimpan banyak pantai dengan kelembutan pasirnya, berbeda dengan pantai lainnya yang pernah saya jumpai. Semoga ketika kembali, keindahanmu masih seperti sediakala.


Cheers!

1 comment: