Pada hari keempat di Flores, saya dan teman-teman berniat menyambangi spiderweb rice di Cancar, kemudian bermalam di Labuan Bajo. Kami berangkat dari Waerebo menuju Cancar dengan durasi perjalanan kurang lebih tiga jam. Ketika tiba di titik pandang spiderweb, kami hanya mengamati selama beberapa menit. Bagi saya pribadi, tempat tersebut tidak memiliki keistimewaan karena hanya hamparan padi dipisahkan dengan setapak jalur yang menyerupai jaring laba-laba. Akan tetapi, jaring laba-laba tersebut memiliki banyak cerita (silakan telusuri melalui Google).
Untuk mencapai titik pandang spiderweb, kami harus membayar tiket masuk dan menapaki sejumlah anak tangga. Pada pintu penjualan tiket, warga setempat juga menjual kopi khas Flores. Berdasarkan selera pengecapan seorang teman, kopi di Cancar lebih nikmat dibandingkan dengan kopi di tempat Flores lainnya.
Saat kami hendak pulang dan berjalan menuju Labuan Bajo, saya sempat berbincang dengan Om Raka, tour guide kami. Om Raka menjelaskan bahwa spiderweb rice field disusun dengan bentuk yang menyerupai rumah adat Manggarai yang dipipihkan. Rumah adat Manggarai memang berbentuk kerucut. Setelah saya timbang-timbang, benar juga perkataan Om Raka yang menyebutkan bentuk sawah menyerupai rumah adat setempat. Sistem pembagian lahan ditentukan berdasarkan petak yang dimulai dari titik tengah.
Jaring Laba-laba yang Unik |
Setelah mengunjungi Cancar, kami segera bergegas menuju Labuan Bajo. Perjalanan dari Cancar hingga Bajo terbilang jauh dan penuh kelokan curam. Bahkan, salah satu teman saya hampir mual karena medan yang kami tempuh.
Pada hari kelima, kami memulai perjalanan Live on Board (LoB) atau hidup dan bermalam di kapal. Selama tiga hari dua malam, kami mengelilingi Taman Nasional Komodo bersama Indahnesia. Ya, ini merupakan pengalaman pertama saya. Kapal yang kami gunakan terlihat sederhana bila dibandingkan kapal pesiar lainnya. Akan tetapi, saat saya intip ruang tempat tidur, ruangan tersebut berada di atas ekspektasi saya. Di bagian bawah kapal, kasur telah disusun rapi sebanyak tiga buah, lengkap dengan pendingin ruangan dan pewanginya yang masih segar. Selain itu, bagian belakang kapal juga terdapat kamar dengan kasur bertingkat dengan pendingin ruangan. Kamar mandi yang disediakan di kapal berwarna putih bersih. Pada bagian atas kapal, kami dapat berjemur menggunkan bean yang telah disediakan. Ah iya, mereka juga menyediakan floaties dengan berbagai bentuk :)
Selama perjalanan, seluruh peserta LoB dipandu oleh tim kapal yang piawai dalam berenang, pandai mengarahkan gaya berfoto, paham dengan spot pemandangan yang ciamik, ahli dalam menyajikan makanan, serta andal dalam berkomunikasi dengan tamu-tamunya. Rupanya, kapten kapal dan seluruh anak buah kapal merupakan penduduk asli Kampung Komodo dan Flores. Seluruh awak kapal juga senantiasa menjaga keselamatan kami selama di perjalanan.
Selama perjalanan, seluruh peserta LoB dipandu oleh tim kapal yang piawai dalam berenang, pandai mengarahkan gaya berfoto, paham dengan spot pemandangan yang ciamik, ahli dalam menyajikan makanan, serta andal dalam berkomunikasi dengan tamu-tamunya. Rupanya, kapten kapal dan seluruh anak buah kapal merupakan penduduk asli Kampung Komodo dan Flores. Seluruh awak kapal juga senantiasa menjaga keselamatan kami selama di perjalanan.
Kapal tempat kami hidup selama tiga hari |
Peta Taman Nasional Komodo |
Pulau yang menjadi kunjungan pertama ialah Pulau Kanawa. Pulau Kanawa memiliki resort yang telah dikelola peduduk berkebangsaan Italia. Untuk trekking di pulau ini, pengunjung harus membayar tiket. Jika hanya mengunjungi pantai dan bermain di lautnya, pengunjung tidak dikenakan biaya. Kami memutuskan untuk bermain di pantai dan tepi lautnya saja. Menurut saya, karang di Pulau Kanawa sudah umum saya temukan sebelumnya, hanya saja Pulau Kanawa tidak ramai pengunjung. Karang yang saya maksud merupakan karang yang terlihat di permukaan, bukan karang yang dicapai dengan diving. Selama snorkeling, saya juga menemukan beberapa ikan pedang.
Dokumentasi Ika Andriani, 2016 |
Dermaga Pulau Kanawa Dokumentasi Ika Andriani, 2016 |
Selepas dari Kanawa, kami mengunjungi Gili Lawa, salah satu pulau yang tidak kalah fotogenik setelah Pulau Padar. Untuk mencapai puncak bukit, saya perlu mempersiapkan tenaga dan minuman lebih. Pasalnya, pulau ini termasuk curam. Kemiringan tanahnya mencapai 70 derajat.
Batu-batu yang disusun atas kepercayaan warga setempat |
Saat gelap tiba, kapal kami bersandar di dermaga Kampung Komodo hingga pagi hari.
Pada hari berikutnya, kami mengunjungi salah satu pulau yang paling dinanti, Pulau Padar! Keindahannya sungguh memanjakan mata dan jiwa, meski bulir-bulir keringat membasahi tubuh kami sepanjang penanjakan. Jalan setapak di Pulau Padar sedikit berpasir, jadi kami harus lebih waspada.
Dokumentasi Ika Andriani, 2016 |
Usai dari Gili Lawa, kami menuju Loh Liang di Pulau Komodo. Loh Liang merupakan satu dari dua tempat penangkaran komodo di TN Komodo. Selain Loh Liang, pengunjung dapat melihat komodo di Loh Buaya. Menurut ranger yang menemani kami selama di Loh Liang, Loh Liang berarti 'sarang lubang'.
Berdasarkan data yang diperoleh pada tahun 2015, jumlah komodo yang berada di Pulau Komodo sebanyak 1337 ekor. Seekor komodo umumnya memiliki usia 40 hingga 50 tahun. Jika sedang bertelur, induk komodo dapat menghasilkan 15--30 telur. Akan tetapi, tidak semua telur berhasil menetaskan komodo.
Hewan komodo termasuk hewan karnivora kanibal, anak komodo dapat dimangsa oleh induknya. Akan tetapi, Sang Pencipta rupanya telah menciptakan segala sesuatu dengan seimbang. Anak komodo yang baru menetas sudah ditanami insting yang baik. Sebelum anak komodo mencapai usia 3 tahun, mereka tidak akan menampakkan dirinya agar tidak menjadi sasaran mangsa. Anak komodo dapat bersembunyi di dalam lubang maupun di atas pohon. Hingga saat ini, komodo di Loh Liang memakan rusa yang berkeliaran di dalam kawasan penangkaran. Jika populasi rusa habis, komodo-komodo tersebut akan memangsa sesamanya.
Saat saya berada di dekat komodo, saya sempat berceletuk "mager banget sih komodo" Lalu, ranger setempat langsung mengatakan komodo memang tidak tahan panas di siang hari, hanya aktif pada waktu malam. Saat memangsa, ia tidak akan menunjukkan tanda-tandanya sama sekali, langsung terkam. Saat itu juga, saya jadi meminta maaf kepada komodo yang telah saya hina sebagai hewan yang mager. Oh iya, selain komodo dan rusa, TN Komodo memiliki berbagai satwa burung.
Setelah puas mengamati komodo, kami bergegas menuju Pink Beach dan Pantai Namong. Kedua pantai ini terletak Pulau Komodo, namun di sisi yang berbeda. Kelebihan kedua pantai ini ialah sama-sama berpasir merah muda. Gemas sekali rasanya, ingin bawa pulang semua pasir di sana.
Saat saya singgah di kedua pantai tersebut, Pantai Namong memiliki pasir yang lebih merah muda daripada Pink Beach. Pantai Namong tidak umum dikenal orang, sehingga lebih sepi pengunjung dibandingkan dengan Pink Beach yang sudah tenar. Bibir Pantai Namong dapat disandari oleh kapal berukuran sedang. Sementara itu, bibir pantai Pink Beach hanya dapat disandari oleh kapal berukuran kecil. Oh ya, salah satu kondisi yang membuat saya tidak nyaman saat berenang di Pink Beach ialah arus yang sangat deras. Rasanya, diam sebentar saja tubuh saya sudah hanyut terbawa arus.
Sesi mengambang yang gagal karena terbawa arus |
Pasir berwarna merah muda tersebut berasal dari pecahan karang dengan warna yang sama. Untuk pemandangan bawah laut, kedua pantai ini sama-sama memiliki karang yang bagus. Salah satu teman saya sempat melihat anak hiu putih di antara karangnya!
Pantai Namong Dokumentasi Ika Andriani, 2016 |
Pink Beach dari lensa Go Pro Dokumentasi Riani Purwandari, 2016 |
Setelah cukup terpenuhi hasrat berlibur, kami pun sadar waktu kebersamaan kami di TN Komodo tersisa satu hari lagi :"
Pada hari terakhir, lokasi yang kami kunjungi ialah Karang Sembilan, Turtle Point, Manta Point, dan Pulau Kelor. Karang sembilan merupakan sebuah kumpulan karang mati yang berkumpul di satu titik hingga terbentuk menyerupai pulau berangka 9. Pada bagian tengah Karang Sembilan, air laut menggenangi hingga terbentuk sebuah kolam di tengah karang. Ternyata, bagian tengah karang sembilan memiliki dunia yang berbeda dibandingkan dengan laut di luar sana. Ya, hanya di tempat ini kami dapat melihat habitat ubur-ubur yang tidak menyengat. Habitat ubur-ubur di Karang Sembilan terlihat seperti hutan belantara di dalam air. Saat berenang di tengah karang ini, kami disarankan tidak menginjak bagian dasar karena banyak ubur-ubur yang berdiam di bagian dasar.
Dokumentasi Setian, 2016 |
Dokumentasi Setian, 2016 |
Dokumentasi Ika Andriani, 2016 |
Beralih dari Karang Sembilan, kami menuju Turtle Point dan Manta Point. Hari itu, kami kurang beruntung saat mengunjungi Turtle Point karena jarak pandang yang cukup buram. Namun, kami berhasil memandangi penyu yang beragam ukurannya. Bahkan, salah satu penyu yang saya lihat seperti memiliki hiasan bunga-bunga di bagian punggungnya. Cantik sekali! Ukuran penyu yang besar tersebut juga membuat saya berandai-andai untuk menaiki punggungnya, kemudian berkelana bersama seperti menaiki sebuah kendaraan.
Berbeda halnya dengan Manta Point, kami sangat beruntung pada hari itu. Tanpa perlu berenang, manta-manta sudah terlihat dari atas kapal. Segerombolan manta terlihat asyik berenang ke sana ke mari. Satu catatan bagi kulit sensitif, kawasan manta memiliki banyak plankton yang dapat menggigit manusia. Rasanya hanya seperti ditusuk-tusuk kecil. Bagi kulit sensitif seperti saya, bekas gigitan tersebut dapat bertahan hingga berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Ada baiknya setelah berenang di Manta Point, segera bilas tubuh dengan air bersih serta tidak lupa membawa obat oles kulit. Plankton tersebut merupakan makanan ikan manta. Berikut salah satu video kumpulan manta hasil dokumentasi tim Indahnesia, ditambah dengan sentuhan tangan Ika Andriani.
Lokasi terakhir yang kami singgahi ialah Pulau Kelor. Pulau Kelor merupakan pulau yang tidak membutuhkan begitu banyak tenaga untuk mencapai puncaknya, tidak seperti pulau-pulau lainnya. Panorama di atas pulau ini juga tidak kalah menawan.
Kapal-kapal Gagah nan Perkasa |
Anak-anak Kampung Komodo :) |
Catatan:
- Jika ingin ke TN Komodo, sebaiknya persiapkan fisik yang kuat mengingat medan tanjakan yang curam serta kondisi arus yang deras di beberapa spot.
- Perjalanan ini mengajarkan saya untuk menghargai setiap tetes air. Selama LoB, air yang disediakan untuk mandi sangat terbatas. Bahkan, sebelum menggunakan sabun, saya membasahi badan menggunakan air laut. Kendati begitu, kami sempat kehabisan air tawar hingga terpaksa mandi menggunakan air kemasan. Air kemasan kami masih tersisa banyak.
- Tulisan ini bukan tulisan kerja sama ataupun berbayar. Semua konten tulisan murni dari buah pikiran penulis.
Keren, Kiii >_<
ReplyDeleteJadi mupeng ke sana!
Gue pun... berawal dari memendam mupeng terus nabung dulu, Ghi 😳
Delete