10.07.2016

Pengalaman Pertama Live on Board di Taman Nasional Komodo

Berikut setoreh kisah saya saat menjejaki surga di tenggara Indonesia.

Pada hari keempat di Flores, saya dan teman-teman berniat menyambangi spiderweb rice di Cancar, kemudian bermalam di Labuan Bajo. Kami berangkat dari Waerebo menuju Cancar dengan durasi perjalanan kurang lebih tiga jam. Ketika tiba di titik pandang spiderweb, kami hanya mengamati selama beberapa menit. Bagi saya pribadi, tempat tersebut tidak memiliki keistimewaan karena hanya hamparan padi dipisahkan dengan setapak jalur yang menyerupai jaring laba-laba. Akan tetapi, jaring laba-laba tersebut memiliki banyak cerita (silakan telusuri melalui Google).

Untuk mencapai titik pandang spiderweb, kami harus membayar tiket masuk dan menapaki sejumlah anak tangga. Pada pintu penjualan tiket, warga setempat juga menjual kopi khas Flores. Berdasarkan selera pengecapan seorang teman, kopi di Cancar lebih nikmat dibandingkan dengan kopi di tempat Flores lainnya.

Saat kami hendak pulang dan berjalan menuju Labuan Bajo, saya sempat berbincang dengan Om Raka, tour guide kami. Om Raka menjelaskan bahwa spiderweb rice field disusun dengan bentuk yang menyerupai rumah adat Manggarai yang dipipihkan. Rumah adat Manggarai memang berbentuk kerucut. Setelah saya timbang-timbang, benar juga perkataan Om Raka yang menyebutkan bentuk sawah menyerupai rumah adat setempat. Sistem pembagian lahan ditentukan berdasarkan petak yang dimulai dari titik tengah.
Jaring Laba-laba yang Unik

Setelah mengunjungi Cancar, kami segera bergegas menuju Labuan Bajo. Perjalanan dari Cancar hingga Bajo terbilang jauh dan penuh kelokan curam. Bahkan, salah satu teman saya hampir mual karena medan yang kami tempuh.

Pada hari kelima, kami memulai perjalanan Live on Board (LoB) atau hidup dan bermalam di kapal. Selama tiga hari dua malam, kami mengelilingi Taman Nasional Komodo bersama Indahnesia. Ya, ini merupakan pengalaman pertama saya. Kapal yang kami gunakan terlihat sederhana bila dibandingkan kapal pesiar lainnya. Akan tetapi, saat saya intip ruang tempat tidur, ruangan tersebut berada di atas ekspektasi saya. Di bagian bawah kapal, kasur telah disusun rapi sebanyak tiga buah, lengkap dengan pendingin ruangan dan pewanginya yang masih segar. Selain itu, bagian belakang kapal juga terdapat kamar dengan kasur bertingkat dengan pendingin ruangan. Kamar mandi yang disediakan di kapal berwarna putih bersih. Pada bagian atas kapal, kami dapat berjemur menggunkan bean yang telah disediakan. Ah iya, mereka juga menyediakan floaties dengan berbagai bentuk :)

Selama perjalanan, seluruh peserta LoB dipandu oleh tim kapal yang piawai dalam berenang, pandai mengarahkan gaya berfoto, paham dengan spot pemandangan yang ciamik, ahli dalam menyajikan makanan, serta andal dalam berkomunikasi dengan tamu-tamunya. Rupanya, kapten kapal dan seluruh anak buah kapal merupakan penduduk asli Kampung Komodo dan Flores. Seluruh awak kapal juga senantiasa menjaga keselamatan kami selama di perjalanan.

Kapal tempat kami hidup selama tiga hari


Peta Taman Nasional Komodo

Pulau yang menjadi kunjungan pertama ialah Pulau Kanawa. Pulau Kanawa memiliki resort yang telah dikelola peduduk berkebangsaan Italia. Untuk trekking di pulau ini, pengunjung harus membayar tiket. Jika hanya mengunjungi pantai dan bermain di lautnya, pengunjung tidak dikenakan biaya. Kami memutuskan untuk bermain di pantai dan tepi lautnya saja. Menurut saya, karang di Pulau Kanawa sudah umum saya temukan sebelumnya, hanya saja Pulau Kanawa tidak ramai pengunjung. Karang yang saya maksud merupakan karang yang terlihat di permukaan, bukan karang yang dicapai dengan diving. Selama snorkeling, saya juga menemukan beberapa ikan pedang.




Dokumentasi Ika Andriani, 2016




Dermaga Pulau Kanawa
Dokumentasi Ika Andriani, 2016


Selepas dari Kanawa, kami mengunjungi Gili Lawa, salah satu pulau yang tidak kalah fotogenik setelah Pulau Padar. Untuk mencapai puncak bukit, saya perlu mempersiapkan tenaga dan minuman lebih. Pasalnya, pulau ini termasuk curam. Kemiringan tanahnya mencapai 70 derajat.





Batu-batu yang disusun atas kepercayaan warga setempat
Saat gelap tiba, kapal kami bersandar di dermaga Kampung Komodo hingga pagi hari.
Pada hari berikutnya, kami mengunjungi salah satu pulau yang paling dinanti, Pulau Padar! Keindahannya sungguh memanjakan mata dan jiwa, meski bulir-bulir keringat membasahi tubuh kami sepanjang penanjakan. Jalan setapak di Pulau Padar sedikit berpasir, jadi kami harus lebih waspada.




Dokumentasi Ika Andriani, 2016


Usai dari Gili Lawa, kami menuju Loh Liang di Pulau Komodo. Loh Liang merupakan satu dari dua tempat penangkaran komodo di TN Komodo. Selain Loh Liang, pengunjung dapat melihat komodo di Loh Buaya. Menurut ranger yang menemani kami selama di Loh Liang, Loh Liang berarti 'sarang lubang'.

Berdasarkan data yang diperoleh pada tahun 2015, jumlah komodo yang berada di Pulau Komodo sebanyak 1337 ekor.  Seekor komodo umumnya memiliki usia 40 hingga 50 tahun. Jika sedang bertelur, induk komodo dapat menghasilkan 15--30 telur. Akan tetapi, tidak semua telur berhasil menetaskan komodo.

Hewan komodo termasuk hewan karnivora kanibal, anak komodo dapat dimangsa oleh induknya. Akan tetapi, Sang Pencipta rupanya telah menciptakan segala sesuatu dengan seimbang. Anak komodo yang baru menetas sudah ditanami insting yang baik. Sebelum anak komodo mencapai usia 3 tahun, mereka tidak akan menampakkan dirinya agar tidak menjadi sasaran mangsa. Anak komodo dapat bersembunyi di dalam lubang maupun di atas pohon. Hingga saat ini, komodo di Loh Liang memakan rusa yang berkeliaran di dalam kawasan penangkaran. Jika populasi rusa habis, komodo-komodo tersebut akan memangsa sesamanya. 

Saat saya berada di dekat komodo, saya sempat berceletuk "mager banget sih komodo" Lalu, ranger setempat langsung mengatakan komodo memang tidak tahan panas di siang hari, hanya aktif pada waktu malam. Saat memangsa, ia tidak akan menunjukkan tanda-tandanya sama sekali, langsung terkam. Saat itu juga, saya jadi meminta maaf kepada komodo yang telah saya hina sebagai hewan yang mager. Oh iya, selain komodo dan rusa, TN Komodo memiliki berbagai satwa burung.


Setelah puas mengamati komodo, kami bergegas menuju Pink Beach dan Pantai Namong. Kedua pantai ini terletak Pulau Komodo, namun di sisi yang berbeda. Kelebihan kedua pantai ini ialah sama-sama berpasir merah muda. Gemas sekali rasanya, ingin bawa pulang semua pasir di sana.

Saat saya singgah di kedua pantai tersebut, Pantai Namong memiliki pasir yang lebih merah muda daripada Pink Beach. Pantai Namong tidak umum dikenal orang, sehingga lebih sepi pengunjung dibandingkan dengan Pink Beach yang sudah tenar. Bibir Pantai Namong dapat disandari oleh kapal berukuran sedang. Sementara itu, bibir pantai Pink Beach hanya dapat disandari oleh kapal berukuran kecil. Oh ya, salah satu kondisi yang membuat saya tidak nyaman saat berenang di Pink Beach ialah arus yang sangat deras. Rasanya, diam sebentar saja tubuh saya sudah hanyut terbawa arus.

Sesi mengambang yang gagal karena terbawa arus
Pasir berwarna merah muda tersebut berasal dari pecahan karang dengan warna yang sama. Untuk pemandangan bawah laut, kedua pantai ini sama-sama memiliki karang yang bagus. Salah satu teman saya sempat melihat anak hiu putih di antara karangnya!

Pantai Namong
Dokumentasi Ika Andriani, 2016

Pink Beach dari lensa Go Pro
Dokumentasi Riani Purwandari, 2016
Setelah cukup terpenuhi hasrat berlibur, kami pun sadar waktu kebersamaan kami di TN Komodo tersisa satu hari lagi :"

Pada hari terakhir, lokasi yang kami kunjungi ialah Karang Sembilan, Turtle Point, Manta Point, dan Pulau Kelor. Karang sembilan merupakan sebuah kumpulan karang mati yang berkumpul di satu titik hingga terbentuk menyerupai pulau berangka 9. Pada bagian tengah Karang Sembilan, air laut menggenangi hingga terbentuk sebuah kolam di tengah karang. Ternyata, bagian tengah karang sembilan memiliki dunia yang berbeda dibandingkan dengan laut di luar sana. Ya, hanya di tempat ini kami dapat melihat habitat ubur-ubur yang tidak menyengat. Habitat ubur-ubur di Karang Sembilan terlihat seperti hutan belantara di dalam air. Saat berenang di tengah karang ini, kami disarankan tidak menginjak bagian dasar karena banyak ubur-ubur yang berdiam di bagian dasar. 

Dokumentasi Setian, 2016

Dokumentasi Setian, 2016
Dokumentasi Ika Andriani, 2016

Beralih dari Karang Sembilan, kami menuju Turtle Point dan Manta Point. Hari itu, kami kurang beruntung saat mengunjungi Turtle Point karena jarak pandang yang cukup buram. Namun, kami berhasil memandangi penyu yang beragam ukurannya. Bahkan, salah satu penyu yang saya lihat seperti memiliki hiasan bunga-bunga di bagian punggungnya. Cantik sekali! Ukuran penyu yang besar tersebut juga membuat saya berandai-andai untuk menaiki punggungnya, kemudian berkelana bersama seperti menaiki sebuah kendaraan.

Berbeda halnya dengan Manta Point, kami sangat beruntung pada hari itu. Tanpa perlu berenang, manta-manta sudah terlihat dari atas kapal. Segerombolan manta terlihat asyik berenang ke sana ke mari. Satu catatan bagi kulit sensitif, kawasan manta memiliki banyak plankton yang dapat menggigit manusia. Rasanya hanya seperti ditusuk-tusuk kecil. Bagi kulit sensitif seperti saya, bekas gigitan tersebut dapat bertahan hingga berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Ada baiknya setelah berenang di Manta Point, segera bilas tubuh dengan air bersih serta tidak lupa membawa obat oles kulit. Plankton tersebut merupakan makanan ikan manta. Berikut salah satu video kumpulan manta hasil dokumentasi tim Indahnesia, ditambah dengan sentuhan tangan Ika Andriani.


Lokasi terakhir yang kami singgahi ialah Pulau Kelor. Pulau Kelor merupakan pulau yang tidak membutuhkan begitu banyak tenaga untuk mencapai puncaknya, tidak seperti pulau-pulau lainnya. Panorama di atas pulau ini juga tidak kalah menawan.


Kapal-kapal Gagah nan Perkasa

Anak-anak Kampung Komodo :)


10.03.2016

Overland Dari Ende Hingga Labuan Bajo - Hari 3


Hari ketiga! Yap, hari itu kami hendak mengunjungi desa yang rupawan, tidak lain ialah Desa Waerebo. Kami berangkat dari tempat penginapan di Ruteng pada pukul 9 WITA. Dengan mobil yang dikemudikan Om Raka, kami menembus Taman Wisata Alam Ruteng. Saat itu, saya menoleh ke kiri dan kanan, banyak pohon-pohon berjajar. Jalanan berlika-liku dengan beberapa lubang besar di tengahnya. Oh, rupanya kami telah memasuki kawasan hutan, jauh dari sinyal dan hiruk pikuk kota. Perjalanan menuju Waerebo memang sedikit memacu jantung. Banyak tikungan tajam di sepanjang lintasan Taman Wisata Alam Ruteng.

Setelah melewati hutan, kami tiba di kawasan pedesaan. Anak-anak SD tampak berkeliaran seusai sekolah. Tidak tahan melihat keluguan anak-anak setempat, kami pun berhenti menghampiri mereka.
Kami membagikan sebagian permen yang telah kami bawa dari Jakarta. Sebelum memberikan permen, kami mengajak beberapa anak untuk menyanyikan salah satu lagu nasional serta membacakan butir Pancasila. Sayangnya, mereka tidak mengetahui lagu nasional maupun Pancasila. Ah, ingin rasanya singgah dan mengajarkan beberapa lagu nasional :( Namun, kami harus melanjutkan perjalanan agar tidak tiba terlalu malam di Waerebo.
Dokumentasi Ika Andriani, 2016

Dokumentasi Ika Andriani, 2016
Setelah melalui kawasan desa, panorama perjalanan yang disuguhkan sungguh menarik. Tepian laut berhiaskan Pulau Mules di tengah-tengahnya. Lagi-lagi, saya hanya dapat menyaksikan dengan mata saya sendiri, tanpa sempat merekamnya dalam kamera saya. Seiring dengan berjalannya kendaraan, kondisi jalan terlihat semakin buruk. Beberapa kali, kami harus turun dari mobil untuk menjaga keseimbangan kendaraan. Jika berpapasan dengan mobil lain, Om Raka harus pintar mengatur tak-tik karena jalan yang dilewati cukup sempit.

Dokumentasi Ika Andriani, 2016
Di tengah perjalanan, kami juga dihadang oleh penduduk setempat yang melakukan pengaspalan di siang hari. Pengaspalan tersebut cukup memakan waktu pengunjung maupun penduduk yang hendak melintas. Kami harus rela menunggu sampai warga mempersilakan kami lewat.

Setelah menempuh empat jam perjalanan, kami tiba di Desa Denge. Jika ingin bertandang ke Waerebo, sebaiknya singgah terlebih dahulu di Pusat Informasi dan Perpustakaan Waerebo di Desa Denge. Bapak Blasius merupakan salah satu penduduk yang akan menyambut tamu di bagian pusat informasi. 

Saat ini, biaya masuk Desa Waerebo sebesar Rp 200.000,00/orang selama satu hari. Jika ingin bermalam di Waerebo, biaya masuk per orang dikenakan Rp 345.000,00. 

Untuk menuju kawasan Waerebo, kami harus mendaki gunung sepanjang 9 km selama tiga jam. Jalan yang kami lalui merupakan jalan setapak di tengah belantara hutan. Oleh karena itu, setiap rombongan tamu diwajibkan menggunakan ranger dari penduduk lokal. Saat musim hujan, jalan setapak menjadi sangat licin. Tidak hanya itu, salah satu teman saya terkena lintah saat di Waerebo. Harus ekstra hati-hati untuk menuju surga tersembunyi itu.

Selama 1 km terakhir, medan perjalanan yang ditempuh berupa turunan. Sebelum memasuki Waerebo, kami harus singgah terlebih dahulu di sebuah saung dan membunyikan kentongan sebagai tanda sinyal masuk kepada warga Waerebo.

Salah satu jembatan yang harus dilalui untuk mencapai Waerebo



Pemandangan dari atas lembah

Selanjutnya, satu persatu dari rombongan kami mulai mengulas senyum di bibir, pertanda senang karena rasa lelah kami terbayar. Perlahan, bulir-bulir keringat kami yang menetes berganti jadi wajah ceria, bersyukur telah berhasil menginjakkan kaki di Waerebo. Desa Waerebo memang seperti surga tersembunyi di antara pegunungan. Tidak hanya itu, penduduknya juga ramah menyambut kedatangan kami. Sebelum beristirahat, kami harus bertandang ke rumah gendang (rumah utama) untuk melaksanakan upacara penyambutan oleh ketua adat. Tidak lupa, kami menyisihkan uang sebagai sesajen upacara. Setelah upacara penyambutan selesai, kami dipersilakan beristirahat di rumah tamu.

Desa Waerebo memang menyajikan suasana nyaman bagi penduduk kota yang ingin melepas penat. Jauh dari ingar bingar kota. Hidup dengan listrik secukupnya. Tiada sinyal sama sekali. Tempat yang tepat untuk melupakan urusan sejenak. Akhirnya, kami sibuk menyaksikan panorama berlukiskan awan dan taburan bintang di malam hari. Saat malam hari, kami kerap melihat bintang jatuh melintas langit Waerebo. Sungguh pengalaman yang tidak terlupakan.

Dokumetasi Ika Andriani, 2016
(Masih belajar cara memotret gugusan bintang)

Waerebo yang dikelilingi oleh pegunungan

Warga Waerebo mengikuti garis keturunan patrilineal. Jika salah satu wanita Waerebo menikah dengan pria dari luar Waerebo, wanita itu harus tinggal bersama pria yang dinikahinya di luar Waerebo. Sebaliknya, pria Waerebo yang menikah dengan wanita dari desa lain harus mengajak istrinya tinggal di Waerebo. 

Tamu yang datang ke Waerebo dipersilakan untuk membawa buku sebagai sumbangan perpustakaan Waerebo. Pasalnya, anak-anak Waerebo yang sekolah harus melalui perjalanan 9 km menuju Desa Denge. Beberapa anak juga memilih untuk tinggal di rumah saudara di Desa Denge agar lebih terjangkau menuju sekolah.

Masyarakat Waerebo rupanya telah terlatih untuk berbicara Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Beberapa guru dari luar NTT datang dan tinggal di Waerebo untuk mengajar kemampuan berbahasa. Desa Waerebo memang telah dipersapkan menjadi salah satu destinasi wisata di Flores.

Setiap satu tahun sekali, warga Waerebo menggelar upacara adat. Upacara tersebut dinamakan Penti. Setiap tanggal 16 November, banyak turis manca negara datang untuk menyaksikan ritual tahunan ini, Ya, Penti mampu menyedot ratusan pengunjung untuk datang ke Waerebo. Tidak hanya itu, keluarga dan sanak saudara penduduk juga turut datang memeriahkan acara Penti.

Oh ya, saat mampir, kami juga dapat mencicipi dan membeli kopi khas Waerebo. Bagi saya, kopi hangat seperti salah satu hidangan mewah karena dapat menghangatkan tubuh saya yang kedinginan saat itu ;)
Berbincang dengan warga di pagi hari
Dokumentasi Ika Andriani, 2016

10.02.2016

Overland Dari Ende Hingga Labuan Bajo - Hari 2

Pada hari kedua, kami memulai perjalanan dari pukul 4 WITA. Ya, sepagi itu kami bersiap menuju Danau Kelimutu. Kami ingin menyaksikan fajar hingga matahari terbit secara perlahan dari balik gunung yang mengelilingi Danau Kelimutu.

Sebelumnya, saya membayangkan Flores memiliki cuaca yang terik, panas, dan gersang.

No. 

Ternyata saya salah. Suhu udara di Kelimutu lumayan dingin, terutama bagi orang seperti saya yang tidak tahan dingin dan gampang ingusan. Alhasil, saya harus memegang hidung sepanjang perjalanan.

Danau Kelimutu dipercaya sebagai tempat yang sakral. Arwah seseorang yang telah meninggal akan menghampiri Danau Kelimutu. Sebelum arwah tersebut tiba di salah satu danau, arwah akan menghadap Konde Ratu, penjaga pintu masuk. Hal serupa juga dikatakan oleh Om Raka, tour guide kami. Ketika kami tiba di pintu masuk, Om Raka memencet klakson mobil sebanyak tiga kali. Ritual tersebut dipercaya untuk menyampaikan salam kepada arwah-arwah yang ada. Jika di sepanjang perjalanan masuk bertemu dengan orang yang berjalan kaki, masyarakat meyakini bahwa orang tersebut merupakan arwah yang baru saja meninggal. Selain itu, Om Raka juga bercerita, jika salah satu danau tampak berwarna merah, masyarakat percaya bahwa terdapat warga yang baru saja meninggal.

Setelah kami tiba di tempat parkir, kami mulai turun dan menyusuri ratusan anak tangga yang sudah menanti kami. Oh ya, jika ingin melihat sunrise, alangkah baiknya membawa senter karena tidak ada lampu penerangan selama perjalanan.

Setibanya di puncak Kelimutu, kami disuguhi bayangan gunung berbingkai sinar matahari yang tampak malu-malu. Saat matahari telah menampakkan diri seutuhnya, kami dapat melihat jelas pesona danau tiga warna tersebut. Di bagian puncak, dua danau biru terlihat berdampingan memanjakan mata kami.
Dua danau belerang di Taman Nasional Kelimutu

Sayang sekali, di hari itu, kami tidak dapat menyaksikan langsung perbedaan tiga warna pada Danau Kelimutu. Kami hanya menghabiskan waktu dari pukul 5 hingga pukul 7 pagi karena perjalanan panjang masih menanti. Sebelum pulang, kami tentunya tidak lupa untuk berfoto ria satu tim komplit :)
Danau Tiwu Ata Mbupu (Danau Orang Tua) yang diselimuti kabut putih

Pemandangannya serupa dengan Tebing Keraton Bandung
(padahal belum pernah ke sana)

Kiri-kanan: Kak Ardha, Bang Septian, Kak Asty, saya, Kak Lidi, Kak Hatni, dan Kak Aki

Kepercayaan masyarakat setempat

Selepas dari Kelimutu, kami bergegas menuju kawasan Manggarai. Selama perjalanan, lagi lagi kami disajikan pemandangan pepohonan dengan latar belakang laut dan gunung khas Flores. Sayang, saya hanya mampu merekam pemandangan dalam memori kepala, tanpa sempat mengambil gambar.

Sebelum mencapai Ruteng, kami singgah selama 30 menit di Kampung Bena Bajawa.
Kampung Bena merupakan salah satu destinasi wisata budaya yang dapat dikunjungi oleh turis. Kemegahan rumah adat di Kampung Bena dengan latar belakang kaki Gunung Inerie membuat tempat ini menjadi salah satu tujuan yang tidak boleh dilewatkan. Di kampung ini pula, masyarakat membuat kain tenun dengan cara tradisional. Saat itu, kami datang di hari Minggu. Warga Bena yang mayoritas beragama Katolik melakukan ibadah sehingga kami tidak dapat menyaksikan proses menenun. Akan tetapi, saya melihat seorang nenek sedang memilin kapas dengan cara yang sederhana. Tidak hanya memilin, nenek itu juga menawarkan vanili sebagai pewarna kain kepada saya.
Seorang nenek memilin kapas 

Saat kami berkunjung, penduduk lokal sebagai pemandu wisata tampak sedang sibuk melayani tamu lain. Jadi, saya dan teman-teman tidak mendapatkan cerita banyak mengenai kampung indah ini :') Bagi saya, suasana Kampung Bena sangat tentram, jauh dari kebisingan, seperti di sebuah desa pelosok dalam film Hollywood (yha...)

Makam keluarga





Selama kami berada di Kampung Bena, kami harus mengalungkan syal kecil di leher sebagai tanda masuk pengunjung. Lucu sekali! Syal tersebut dikembalikan setelah kami puas mengamati kampung. Ah, timati iwaso, Kampung Bena! ('terima kasih banyak' dalam bahasa setempat)
Syal sebagai tanda masuk pengunjung

Selanjutnya, kami menempuh perjalanan selama 12 jam menuju tempat penginapan di Ruteng. Perjalanan cukup mulus, namun banyak kelokan tajam. Bagi yang mudah mengalami mabuk darat, sebaiknya bersiap-siap membawa obat anti mual.



10.01.2016

Overland Dari Ende Hingga Labuan Bajo - Hari 1

Kali ini, saya ingin menceritakan keinginan saya sejak tahun 2009, menabung untuk pergi ke suatu tempat yang saya inginkan. Pada saat itu saya mulai menabung secara sederhana, saya menggunakan celengan dan sisa tabungan sekolah sewaktu SMP. Ketika celengan mulai penuh, saya menitipkan koin yang telah terkumpul pada Mama. Lucu sekali rasanya mengenang mimpi saya yang sederhana itu :") Akan tetapi, metode menabung tersebut masih saya terapkan hingga saat ini.

Singkat cerita, awal tahun 2016 saya mengamati Facebook salah satu teman, Ika Andriani, yang baru saja mengunjungi Flores. Seketika itu pula, saya berceletuk, "Wih, seru banget". Tidak lama, saya mendapatkan balasan dari kakak yang biasa disapa Kak Aki itu, "Yuk ikut 1--8 Oktober nanti mau balik lagi".

Saya langsung bertanya pada Mama, "Boleh nggak aku pake sebagian dari tabunganku? Hehehe"

Alhamdulillah setelah berdiskusi sana-sini, saya diizinkan untuk pergi, dengan syarat tidak melalaikan kewajiban sebagai mahasiswa semester akhir.


Trip kali ini terbagi menjadi dua jenis, overland dan Live on Board (LoB). Kegiatan overland diikuti oleh tujuh orang yang beragam karakternya. Saya belum mengenal sebagian dari mereka. Sebagian lainnya, saya pernah bertemu dan bergabung dalam beberapa open trip yang diselenggarkan oleh  Kak Aki. Ya, kali ini saya ingin menceritakan perjalanan sepanjang Ende sampai Labuan Bajo terlebih dahulu.

Hari itu banyak pengalaman yang serba pertama. Pertama kali melakukan perjalanan udara selama enam jam. Pertama kali menaiki pesawat yang mengharuskan saya transit sebanyak tiga kali. Pertama kali merasakan duduk di dalam pesawat perintis. Pertama kali menginjakkan kaki di NTT. Banyak peristiwa baru. Saya tidak pernah menyangka bahwa naik pesawat perintis memiliki sensasi yang serupa dengan naik bus lokal, perbedaannya bus ini bisa terbang. Saat itu, saya juga benar-benar buta dengan persoalan transit dan tukar pesawat. Untungnya, saya ditemani beberapa teman yang berangkat dari Cengkareng. Saya menaki pesawat dari Cengkareng, transit di Surabaya, lalu tukar pesawat kecil di Kupang, kemudian terbang menuju Ende.

Pada awalnya, saya mengkhawatirkan kemampuan saya beradaptasi dengan teman-teman baru ini. Rasanya, perbedaan umur di antara saya dan mereka dapat menghambat komunikasi saya. Ya, saya termasuk orang yang tertutup dan hemat berbicara. Rupanya, perbedaan usia tidak menjadi penghalang dalam percakapan kami.


Ketika di Kupang, pesawat perintis yang hendak kami tumpangi ternyata sudah menunggu pesawat kami yang tertunda keberangkatannya. Tidak ada papan pengumuman di Bandara El Tari. Petugas setempat hanya menggunakan mulutnya secara mandiri untuk memanggil penumpang dengan menyebut destinasi tujuan setiap pesawat, pada waktu sesuka hatinya. Kami pun segera berangkat menuju Ende. Ohya, kami disuguhi pemandangan cantik di sepanjang perjalanan Kupang hingga Ende. Saat itu pula, saya menggumam "Seperti yang di foto-foto, ya".

Dokumentasi oleh Ardha Lubis
Sesampainya di Bandara H. Hasan Aroeboesman, Ende, saya lebih terkejut lagi. Bandara tersebut seperti puskesmas yang mungil. Maklum saja, ini perjalanan pertama saya ke pedalaman.
Kami pun mulai menjelajahi daerah Ende dengan mobil. Perjalanan dari Ende ke Moni ternyata serupa dengan perjalanan Riau ke Bukittinggi.
Pesawat perintis yang kami tumpangi
Bandara H. Hasan Aroeboesman

Suguhan yang kami temui di tenga perjalanan Ende--Moni


Destinasi pertama kami ialah Taman Pancasila. Waktu kami berkunjung bertepatan dengan Hari Kesaktian Pancasila. Kami pun mengulik sedikit informasi lahirnya butir-butir Pancasila tersebut. Konon, ide lima butir Pancasila tercetus dari lima cabang pohon yang terdapat di Taman Pancasila. Oleh karena itu, Ende juga disebut sebagai Kota Pancasila.

Ende Kota Pancasila
Setelah itu, kami bergegas menuju Moni untuk bermalam di sana. Selama perjalanan, saya dan teman-teman berbincang dengan supir kami yang juga penduduk lokal Flores, Om Raka. Om Raka mengatakan bulan Oktober sering terjadi hujan di Flores. Saat bulan Oktober, suhu udara pada malam hingga pagi hari cukup dingin. Jika ingin bertandang, Om Raka menyarankan untuk berkunjung pada bulan April hingga Juni. Pada bulan Agustus, cuaca di Flores sangat terik hingga pepohonan mengalami kekeringan.

Tidak terasa, perjalanan selama lima jam telah kami lalui hingga akhirnya tiba di Moni. Kami bermalam selama satu hari di penginapan setempat lalu melanjutkan perjalanan dari pukul 04.00 WITA.