Tak pernah terlintas di kepala tentang keindahan Ambon. Apalagi menginjakkan kaki di tanah rempah-rempah itu.
Saya hanya memiliki waktu selama 5 jam untuk singgah di Ambon, menanti penerbangan selanjutnya menuju pangkuan ibu kota. Lebih tepatnya, saya mendapat kesempatan transit pada penerbangan Kepulauan Kei, Maluku Tenggara-Jakarta. Awalnya saya tidak tahu harus membunuh waktu dengan gaya apa, sampai akhirnya bertemu dengan Rahmi.
Kami baru saja berkenalan di Tual, Kepulauan Kei. Dengan semangatnya yang meletup-letup, Rahmi merekomendasikan setitik permata di bawah laut, yaitu Lubang Buaya, tepatnya di Desa Morella, Leihitu, Ambon. Ia mengatakan, memang cukup riskan untuk mengunjungi Lubang Buaya dalam jeda transit lima jam. Namun, jika saya cukup nekat dan supir menyanggupi, Rahmi yakin saya dapat menelisik Lubang Buaya lalu namaste di dalam pesawat. Di satu sisi, kawan saya yang lainnya justru menggelengkan kepala, pertanda waktu yang saya miliki tidak cukup untuk ke Lubang Buaya.
Akhirnya, saya mengikuti saran Rahmi.
Sampai hari kepulangan tiba, saya berusaha menghemat waktu dengan segala cara. Mulai dari menggendong ransel yang beranak pinak sampai dalam kabin pesawat, membalut diri dengan baju renang, hingga menahan hasrat ke toilet.
Pesawat yang saya tumpangi telah lepas landas pada pukul 6 pagi dan tiba di Ambon satu setengah jam setelahnya. Ketika kaki ini telah menyentuh Ambon, saya segera menghubungi Bang Ical dan Bapak Levy yang sudah menanti di pintu kedatangan penumpang.
Kami melesat menuju Negeri (Desa) Morella selama satu jam. Bang Ical pun menyuguhi kisah dari tempat tinggalnya, Leihitu.
Leihitu memiliki tradisi bernama Baku Pukul Manyapu yang digelar tujuh hari selepas Idul Fitri. Ya, jangan heran karena penduduk Leihitu memeluk Islam.
Melansir dari laman Kodam XVI Pattimura, Baku Pukul Manyapu atau pukul sapu lidi mencerminkan perlawanan antara pasukan Kapitan Tulukabessy dan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Sebelum dimulai, warga akan menampilkan pertunjukan tarian hingga atraksi bambu gila. Yang menarik, acara intinya ialah tradisi pukul memukul dengan sapu hingga badan terluka. Eits, jangan resah dan gelisah dulu. Sebab warga setempat juga mempunyai obat mujarab berupa getah pohon jarak atau minyak tasala.
Melansir dari laman Kodam XVI Pattimura, Baku Pukul Manyapu atau pukul sapu lidi mencerminkan perlawanan antara pasukan Kapitan Tulukabessy dan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Sebelum dimulai, warga akan menampilkan pertunjukan tarian hingga atraksi bambu gila. Yang menarik, acara intinya ialah tradisi pukul memukul dengan sapu hingga badan terluka. Eits, jangan resah dan gelisah dulu. Sebab warga setempat juga mempunyai obat mujarab berupa getah pohon jarak atau minyak tasala.
Adat ini sempat menjadi konflik pengakuan antara Desa Morella dan Desa Mamala. Namun, permasalahan tersebut sudah larut dalam kebersamaan kedua desa itu.
Tanpa terasa, kami akhirnya tiba di Morella, sebuah desa cilik yang hangat. Sebenarnya, Morella masih menyimpan banyak destinasi pantai. Namun, saya masih belum puas untuk menyapa kawanan ikan.
Beruntungnya saya di hari itu, langit sedang terik-teriknya. Warna biru pirus tampak memantul dari kejauhan. Saat itu tak ada kehadiran pengunjung lain, sebuah pengalaman mewah bagi saya. Ah, rasanya tidak sabar membenamkan diri ke laut!
Lubang Buaya memiliki hamparan karang yang begitu luas. Taman koral tersebut membentuk tebing dengan goa besar yang bisa dinikmati dengan diving. Tapi tidak perlu khawatir, aktivitas snorkeling di tempat ini juga menjanjikan banyak hal. Untuk pertama kalinya, saya bisa melihat tebing yang ditumbuhi karang lalu menjorok ke palung dalam. Meski membentuk palung, habitat ikan ini memanjang di sepanjang pulau, seakan tak ada habisnya!
Di tempat ini pula, saya baru bertemu dengan ikan cantik serupa bunga. Namun, keindahannya juga mematikan bagi manusia karena racun yang ia miliki. Tidak ketinggalan pula, saya dapat mengamati sekelompok ikan yang diam namun berjajar rapi. 'Ikan upacara', begitu saya menamai mereka.
Can you spot the fish? |
Meski lanskapnya begitu membuai, rasa was-was tetap menghampiri saya. Iya, saya mempercayai prinsip 'jangan menyelam sendiri'. Tentu saja pedoman itu berlaku untuk snorkeling. Lagipula, dekat karang tersebut terdapat jurang yang belum ditemukan dasarnya. Terkadang, saya bisa panik sendiri jika melihat laut tak berujung. Jadi, saya meminta Bang Ical untuk menemani snorkeling. Sementara itu, Bapak Levy memilih bercengkrama di daratan karena ia kerap mabuk dengan laut.
Pikiran saya tertuju pada sekelompok ikan yang asyik berenang. Kira-kira, apa yang ada di pikiran mereka? Tak lama kemudian, Bang Ical memanggil saya. Katanya, ia baru saja terkena sengatan ubur ubur.
Pikiran saya tertuju pada sekelompok ikan yang asyik berenang. Kira-kira, apa yang ada di pikiran mereka? Tak lama kemudian, Bang Ical memanggil saya. Katanya, ia baru saja terkena sengatan ubur ubur.
Ah ya, jika ingin ke Lubang Buaya, ada baiknya membawa snorkeling gear sendiri. Sebab, Bang Ical yang lupa membawa peralatannya, merasa tidak cocok dengan alat mask yang disewakan.
Si ramah Bang Ical :) |
One of my fav! Bunga serupa putri malu |
Saya tau ini gila. Kami baru saja melesat ke bandara pada 2 jam sebelum pesawat lepas landas. Catat, sebelum pesawat lepas landas. Padahal waktu perjalanan yang harus ditempuh hampir satu jam lamanya haha.
Sepanjang perjalanan, saya tiada henti-hentinya merapalkan doa. Namun nasib memang nasib, kami justru terjebak di tengah perjalanan karena warga yang memotong pohon di siang bolong. Pohon itu dibiarkan jatuh melintangi jalan, menghalau setiap pengendara yang ingin lewat. Kabarnya, warga setempat memang biasa melakukan hal ini.
Rasanya, emosi hingga ubun-ubun bercampur perut mulas menyergap secara bersamaan. Beruntung, warga akhirnya membelah pohon tersebut sehingga kami dapat lewat. Bapak Levy pun menyetir dengan cekatan sehingga saya masih sempat mengejar penerbangan meski sudah memasuki panggilan terakhir. Dengan izin semesta, saya masih bisa ikut duduk manis di dalam pesawat.
Sungguh lima jam yang gila, tapi saya terlanjur jatuh hati. Lubang Buaya memang seperti berlian tersembunyi. Terpencil, namun keelokannya melenakan jiwa. Untuk pertama kalinya pula, saya menitikkan air mata karena mengunjungi suatu tempat. Semoga kelak saya dapat dipertemukan kembali dengan Amboina.