10.28.2017

Mengulik Pesona Belitung

Dari seluruh pelesiran yang pernah saya lakukan, perjalanan menuju Belitung ini satu-satunya yang dapat dikatakan sebagai eskapisme yang melampaui ekspektasi. Kenapa? 

Saya membayangkan bahwa Belitung bisa menjadi destinasi terjangkau —tentunya tidak bagi sayauntuk warga ibu kota. Lokasinya dekat, perjalanannya singkat, bisa dinikmati pada akhir pekan yang sesaat. Dampaknya, Belitung bisa berubah menjadi "cendol" setiap akhir pekan. Lokasi wisata yang ramai biasanya sulit untuk dinikmati oleh orang seperti saya, pendamba kedamaian. Ya, itu awal pemikiran saya. Kalau bukan karena seorang teman yang selalu bawel setiap saya berpergian, perjalanan ini tidak akan terjadi. Salahkan Rhena bila saya akhirnya terpesona pada keindahan Belitung. 

Rhena di salah satu sudut Pantai Tanjung Tinggi

Selama tiga hari, saya mengulik keindahan Belitung bersama empat kawan Jakarta lainnya, serta satu teman, Edwin, yang sudah hafal betul seluk beluk Negeri Laskar Pelangi. Salah satu kedamaian yang saya temukan pertama ialah jalanan Belitung yang sepi namun mulus bak lintasan sirkuit. Rasanya, semua orang akan senang mengemudi di tempat seperti ini. 
Selama perjalanan, kami sibuk memandangi rumah di sepanjang jalan yang tampak sepi tak berpenghuni. Ke mana warga sekitar?

"Kalau siang, warga biasanya panen ke kebun," jelas Edwin.

Benar saja, sepanjang jalan hanya kebun yang kami temui. Di antaranya kebun sawit hingga lada. Kondisi Belitung ini mengingatkan saya pada salah satu desa terpencil di Riau.

Kami bergerak dari Tanjung Pandan menuju Belitung Timur selama 1 jam 20 menit. Sebelum tiba di pusatnya jejak "Laskar Pelangi", kami melipir ke tambang kaolin sejenak. Kaolin yang mengandung aluminium silikat ini memiliki banyak manfaat, salah satunya untuk kosmetik dan sabun. 




Detik demi detik terasa berjalan begitu lambat. Eksplorasi "Laskar Pelangi" telah kami kulik satu persatu. Untuk membunuh waktu, kami memutuskan singgah di salah satu lokasi wisata yang baru berdiri selama setahun, Bukit Peramun. Wisata yang berada di Sijuk ini merupakan habitat bagi tarsius, si hewan malam. Pengunjung dikenakan biaya Rp10.000 untuk dapat menikmati kerindangan flora di Bukit Peramun. Uniknya, setiap pohon sudah dilabeli nama serta QR Code untuk menganalisa lebih jauh. Bukan cuma trekking, Wisata Alam Bukit Peramun juga menawarkan paket penelusuran goa granit, panjat tebing granit, hingga pengamatan tarsius.

Untuk mencapai spot terbaik Bukit Peramun, kami menanjaki hutan selama 20 menit. Setibanya di puncak Bukit Peramun, kami disambut oleh gumpalan awan mendung yang membungkam keindahan langit senja. Namun, langit hari itu tidak kehilangan keindahannya.


Pada hari kedua, kami menjelajah pulau yang berada di sekitar Pulau Belitung. Saat kami baru saja tiba di bibir pantai, batu-batu tinggi menjulang khas Belitung sudah menyambut kami. Lanskap yang saya saksikan ternyata lebih indah daripada yang berada di internet!  ((iyalah, Ki))

Untuk melakukan island hopping di Belitung cukuplah mudah. Pengunjung bisa mencari jasa island hopping dengan nelayan setempat dan berbagi biaya dengan mengajak pengunjung lain untuk berkeliling bersama. Kocek yang diperlukan untuk island hopping saat ini ialah Rp400.000/perahu.


Sayangnya, hari itu kami kurang beruntung untuk mengulik lebih jauh pulau-pulau di sekitar Belitung dari atas ketinggian. Pasalnya, mercusuar di Pulau Lengkuas sudah ditutup sejak bulan Agustus karena suatu alasan tertentu. Saat ini, pengunjung hanya bisa menapaki tangga hingga lantai 3.






Pada hari berikutnya, saya dan Rhena memtuskan untuk extend selama sehari untuk mencari surga tersembunyi lainnya di Belitung. Hari itu sepertinya menjadi keberuntungan bagi kami. Pasalnya, setiap destinasi wisata tidak didatangi oleh pengunjung lain! Belitung serasa milik pribadi :) 

Salah satu tempat favorit saya ialah Bukit Baginda, Desa Membalong. Meski cukup jauh dari pusat kota, bukit ini menawarkan lanskap dari sudut pandang yang berbeda. Kalau biasanya saya melihat laut dengan kombinasi bebatuan khas Belitung, kali ini saya melihat luasnya hamparan sawit sejauh mata memandang. Bukan cuma itu, Bukit Baginda juga dikelilingi oleh pohon rindang dilengkapi dengan fauna yang tinggal di pepohonan. Kami melihat beberapa monyet kecil bergelantungan! 
Untuk mencapai puncak Bukit Baginda, kami perlu menyusuri hutan terlebih dahulu. Bagi wisatawan, area ini memang sulit dicari karena lokasinya yang tersembunyi serta tidak ada papan penujuk atau tanda lainnya. Beruntunglah ada Edwin si peta berjalan. 





Sebelum jam kepulangan tiba, kami bergegas menuju lokasi lainnya untuk membunuh waktu. Wisata Batu Mentas menjadi pilihan kami. Tempat ini dapat menjadi jawaban bagi saya yang merindukan merdunya suara air melintasi bebatuan granit. Perpaduan kedamaian itu dilengkapi juga dengan suara daun-daun saling bergesekan tertiup angin. Air yang disuguhkan pun sangat jernih. Seandainya saya punya cukup waktu, ingin sekali rasanya berendam sampai kulit keriput. 

Sungguh menenangkan jiwa. 


Foto: Rhena Anggraeni
Pulau Belitung memang dapat menjadi sarana pelarian yang tepat jika hanya memiliki waktu terbatas untuk berlibur. Edwin sempat berpesan, untuk mengelilingi seluruh tempat wisata di Bumi Serumpun Sebalai ini membutuhkan waktu sekitar 5 hari. Artinya, Belitung masih menyimpan harta tersembunyi lainnya. Ah, sampai berjumpa lagi, Belitung!

10.16.2017

Berkawan Kalut Marut

Pernahkah kau merasakan


Ketenteraman yang sirna perlahan


Lalu amigdalamu terkungkung oleh kekusutan


Peluh dingin menggerogoti badan 


Ke mana kau akan bertahan?




Sungguh, kekalutan bisa menjadi begitu kejam


Sayup-sayup datang mencekam


Lambat laun melumat mimpi-mimpi malam


Hingga tenggelam dalam temaram



Maka, kawanmu ialah suara-suara


Yang setia mengusik kepala


Saat kesunyian tiba

6.10.2017

Mendaki Gunung Gede Saat Bulan Puasa

Foto: Ahmad Haidar
Pada awal Ramadan, salah satu teman saya menawarkan hal yang tidak biasa:

mendaki gunung saat puasa.

Teman saya memang anggota pecinta alam yang sudah ahli dalam dunia pegunungan. Mendaki sambil berpuasa pun sudah pernah dijajal olehnya. Sementara itu, saya hanyalah anak kemarin sore yang baru icip-icip naik gunung. Karena rasa penasaran mengalahkan akal sehat saya, akhirnya saya mengiyakan ide gila itu. Meskipun pada akhirnya saya tidak berpuasa, teman-teman saya tetap menjalankan kewajiban mereka. Kisah mendaki saat puasa ini merupakan pengalaman keempat teman saya.

Pendakian kali ini kami lakukan saat akhir pekan. Kami berlima mendaki Gunung Gede via Gunung Putri di Cianjur. Mengapa Gunung Gede via Gunung Putri? 

Gunung Gede masih dikategorikan sebagai gunung yang ramah untuk pemula. Selain itu, jalur Gunung Putri merupakan kawasan hutan rimbun sehingga kami tidak terpapar sinar matahari langsung. Jalur Gunung Putri memang terjal, namun jalur tersebut memiliki waktu tempuh yang singkat dibandingkan dengan jalur lainnya.

Saat puasa, terdapat perbedaan kondisi di kawasan Gunung Gede. Kami berencana untuk membeli makanan di basecamp untuk bekal buka puasa. Namun, baik pemilik basecamp, warung makan, hingga warga lain tidak memasak saat siang hari. Upaya berkeliling mencari sebungkus nasi pun tidak membuahkan hasil. Akhirnya, kami membeli nasi dan tahu yang baru saja matang saat kami hendak beranjak pergi dari basecamp. Selain itu, kami tidak menemukan pendaki selama di perjalanan menuju Surya Kencana. Begitu pula di kawasan camping, jumlah pendaki terbilang sedikit dibandingkan hari biasa.


Pendakian pada menit-menit awal memang terasa lebih berat, terutama bagi teman-teman saya yang berpuasa. Kami pun menerapkan manajemen waktu, 20 menit mendaki lalu 2 menit istirahat.

Jalur Gunung Putri terdapat beberapa pos yang harus dilalui, Legok Leunca (0,8 km), Buntut Lutung (2,7 km), Lawang Saketeng (3 km), Simpang Maleber (3,5 km), Alun-alun Surya Kencana Timur (5 km), dan Puncak Gede (8,5 km). Akan tetapi, penanda di setiap pos tidak banyak ditemukan. Berdasarkan info yang kami peroleh, papan penanda pos telah rusak serta belum diperbaiki.

Pos I ditandai dengan gapura selamat datang

Sepanjang perjalanan, sinar cahaya matahari tidak mampu menembus rimbunnya hutan. Akar-akar maupun batu berukuran besar menghiasi jalur Gunung Putri. 

Saat maghrib tiba, kami berhenti di tempat datar lalu berbuka bersama. Menu kami kali itu ialah tahu yang telah kami beli, baso dan udang yang kami masak dadakan. Yum! Teman-teman saya yang sudah lemas akhirnya semangat kembali. Kami ditemani kunang-kunang saat melahap dengan penuh kenikmatan.

Perjalanan pada malam hari terasa lebih berat mengingat minimnya cahaya dan suhu yang semakin dingin. Cahaya bulan masih sembunyi di balik pohon-pohon besar. Berbagai bayangan pohon memicu pikiran kami untuk berhalusinasi. Kami berjalan dengan lambat namun pasti. Pada akhirnya, kami tiba di Alun-alun Surya Kencana pukul 21.30 malam. Meski sudah cukup larut, kami memasak kembali untuk mengisi perut yang sudah kehabisan bahan bakar.

Tepat pukul 3 dini hari, kami bangun untuk mempersiapkan sahur dengan menu capcay. Rupanya, waktu memasak tersebut tidak cukup untuk kami. Alhasil, menu makanan kami berubah menjadi sayur sup #lah. Nasi yang kami buat hanya setengah matang. Lalu, kami baru sempat menikmati masakan saat waktu Imsak. Jujur, saya merasa tidak tega dengan teman-teman yang berpuasa. Minum pun terburu-buru.

Mentari tampak malu-malu menyambut para pendaki



Pukul 8.30, kami mulai mendaki menuju Puncak Gede. Sudah terlalu siang, memang. Dari awal berangkat hingga pulang, kami memang memiliki jadwal yang nyeleneh dibandingkan dengan pendaki lain. Berhubung teman-teman saya harus menghemat tenaga, kami berjalan dengan lambat sembari berbagi cerita.
Jalur menuju puncak Gunung Gede (Foto: Rizal Bahriawan)
Perjalanan dari Surya Kencana barat hingga puncak kami tempuh selama 80 menit. Setibanya di atas, kami disambut dengan lanskap Gunung Pangrango dengan kawah Gunung Gede sebagai pemanis. Kami langsung bergoler kenikmatan.  




Bahkan, pendaki lain turut membawa peliharaan kesayangannya
Kami mulai membereskan tenda lalu bergegas pulang pada pukul 15. Saat itu, kabut lebat mulai menghalangi jarak pandang kami. Perjalanan kami sesekali diwarnai gerimis tipis. Kami bergerak lebih cepat agar dapat berbuka puasa di basecamp. Namun, teman-teman saya rupanya harus lebih bersabar. Kami baru tiba di basecamp pukul 19. Untungnya, kami sudah menyiapkan air minum yang diambil langsung dari sumber air di Surya Kencana. Air tersebut merupakan air tersegar yang pernah membasahi kerongkongan saya! :') Tidak cukup, kami kembali meneguk air dekat perkebunan warga. Rasanya benar-benar plong.

Jadi, bagaimana supaya kuat mendaki saat berpuasa?
Berikut tips dari beberapa rekan saya.

  • Mantapkan niat. Sebelum berangkat, teman-teman saya memang membulatkan tekat untuk berpuasa di gunung. 
  • Persiapkan fisik. Untuk mendaki gunung, pendaki memerlukan latihan fisik seperti jogging atau naik turun tangga. Jika berpuasa, cobalah latihan fisik saat sedang berpuasa.
  • Pergi mendaki saat tubuh sudah menyesuaikan diri dengan puasa, seperti pada minggu kedua atau minggu ketiga Ramadhan.
  • Makanan bernutrisi. Meskipun sedang di gunung, makanan sehat tetap diutamakan. Hindari membawa makanan instan. Usahakan rumus 4 sehat 5 sempurna tetap dijaga.
  • Meskipun udara gunung pada pukul 3 pagi dingin, usahakan tetap sahur. Perhitungkan juga durasi waktu memasak.
  • Hemat tenaga. Beberapa tips kecil namun mujarab telah saya coba, seperti menjaga alur pernafasan melalui hidung (bukan mulut), tidak menghentakkan kaki dengan keras, dan berjalan perlahan namun konsisten. 
  • Ingatlah kapasitas diri.
Ingat petuah dari para pendaki: tujuan itu bukan puncak gunung, tapi rumah.

Kiri-kanan: saya, Amal, Kak Haidar, Ofi, Kak Rizal


5.11.2017

Mencumbu Gunung Merbabu

Gunung Merapi dari Puncak Merbabu
Foto: Satwiko Budiono
Perjalanan mendaki gunung ini merupakan pendakian kedua saya setelah mendaki Gunung Papandayan, beberapa tahun lalu. Mengingat tubuh yang sudah lama tidak bekerja keras ini, saya membayangkan perjalanan akan menguji fisik dan mental saya. Maka, persiapan fisik saya lakukan sedari satu setengah bulan sebelum berangkat. 

Hari itu, kami mulai berkumpul di Stasiun Tawang, Semarang. Kami menelusuri perjalanan menuju Cepogo hingga Kecamatan Selo, Boyolali, selama 3 jam dengan mobil. 

Setibanya di kaki Gunung Merbabu, kami memutuskan untuk menggunakan jalur baru, yaitu Jalur Gancik, Selo. Yup, keputusan yang mendadak ini dipilih karena kami tiba terlampau siang di posko. Pasalnya, jalur ini menyediakan jasa ojek untuk mencapai titik awal pendakian.

Sebelumnya, Jalur Gancik merupakan jalur evakuasi untuk menyelamatkan pendaki yang kecelakaan. Jalur ini digunakan untuk evakuasi karena memiliki waktu tempuh yang lebih singkat dibandingkan dengan jalur lainnya. Gancik tergolong "ramah" untuk pendaki pemula, seperti saya contohnya. Jalur Gancik akan bertemu dengan Jalur Selo di Pos III.

Kelebihan lain dari Jalur Gancik ialah adanya tugu pandang atau Gancik Hill Top. Gancik Hill Top ini menjadi daya pikat tersendiri bagi wisatawan lokal. Apabila hanya memiliki waktu singkat, pengunjung dapat sekadar menikmati pemandangan Merapi dari Gancik Hill Top. Aksesnya pun mudah, pengunjung dapat berjalan kaki atau menggunakan jasa ojek dengan biaya Rp10.000. Pengunjung hanya perlu membayar simaksi sebesar Rp5.000 untuk masuk ke area ini.

Gancik Hill Top yang masih dalam proses pembangunan
Foto: Rizal Bahriawan
Setelah merasakan sensasi panas-dingin menaiki ojek di jalur yang terjal bersama dengan carrier sebesar badan, saya beserta enam orang teman saya memulai perjalanan yang sesungguhnya. Awal pendakian memang terasa lebih berat dari yang saya bayangkan. Saya kesulitan menemukan ritme yang tepat untuk menghirup oksigen. Nafas pun mulai tersengal-sengal. Saat itu, kekhawatiran mulai menghantui pikiran saya: bagaimana kalau saya pingsan mendadak saat perjalanan baru saja dimulai?

Awal mula perjalanan 

Sembari mencari pola bernafas, saya melanjutkan perjalanan hingga akhirnya mencapai Pos 2 dalam waktu 1,5 jam. Detik demi detik terus bergulir. Entah berapa jumlah bulir keringat yang telah membasahi tubuh. Namun, itu semua belum seberapa. Setelah mencapai Pos 3 selama 50 menit, tantangan sesungguhnya baru menguji mental saya. 

Saya harus merangkak di permukaan tanah yang cukup curam, mencumbu tanah Merbabu. Sesekali, saya harus bergantung pada uluran teman saya. Kami harus memilih pijakan tanah yang tepat agar tidak salah mengambil langkah. Karena saya yang paling awam dalam mencari pijakan, saya memilih berjalan paling belakang. Rasa kepercayaan diri terhadap kaki saya pun berangsur-angsur menciut. Saya berjalan lebih lambat daripada teman saya yang lainnya. Sumpah serapah mulai keluar dari dalam hati saya. 

"Pokoknya, jangan mau naik gunung lagi. Cukup ini saja," rutuk saya waktu itu. 

Matahari pun mulai menggelincir ke ufuk barat. Cahaya terang berganti dengan gemerlap bintang. Kami segera bergegas menuju Sabana 1. Perjalanan menuju Sabana 1 memiliki pemandangan yang menakjubkan bagi saya. Meski hanya memandang dalam kegelapan, saya dapat merasakan seperti  berada di atas awan. Rasanya seperti berada di atas pesawat tak bersekat, tanpa aluminium atau fiber glass yang menghalangi. Lensa kamera tidak akan sanggup menangkap panorama Merbabu seindah mata ini.


Akhirnya, kami tiba di Sabana 1 pada pukul 8 malam lalu mendirikan tenda di area tersebut. Celsius dingin cukup menghunus jaket-jaket tebal kami. Kami pun tidak ingin membuang-buang waktu untuk segera menyalakan api, mempersiapkan makan, lalu beristirahat untuk menyambut summit attack besok.

Waktu untuk menyambangi puncak Merbabu pun tiba. Tubuh yang menggigil ini saya lawan dengan melakukan gerakan-gerakan ringan. Perjalanan dari Sabana 1 menuju puncak bermula sekitar pukul 03.30 dini hari. Saat itu, panorama di sepanjang Sabana 2 hingga puncak masih terselimuti gelap sisa langit semalam. Tak lama, semburat cahaya tampak perlahan muncul dari sisi kanan kami. Alam Merbabu mulai menyuguhkan sajian terbaiknya. Perjalanan menuju puncak menjadi tidak terasa karena kecantikan hamparan sabana di sepanjang perjalanan. 

Ketika saya telah menginjak Puncak Trianggulasi, rasa syukur semakin menyelubungi diri saya. Memang benar, semua usaha terbayar ketika seseorang berhasil melampaui ujian yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Janji saya untuk tidak menaiki gunung lagi, perlahan runtuh. Saya ingin menyaksikan kilau yang tersimpan di gunung lainnya dengan mata sendiri.

Panorama gunung berapi tersingkap dari balik kabut yang sempat menyelimutinya. Tidak ketinggalan, jajaran Gunung Sindoro, Sumbing, dan Slamet dalam ukuran mungil setia menemani kami selama di puncak.



Hamparan sabana
Foto: Satwiko Budiono
Foto: Satwiko Budiono
Sayangnya, kecantikan alam tersebut tidak bisa kami saksikan berlama-lama. Kabut mulai turun merenggut keelokan alam yang sedang kami nikmati. Kami segera kembali menuju tenda, lalu bergerak meninggalkan Merbabu.

Perjalanan turun memang memiliki tantangan yang berbeda dibandingkan dengan menaiki gunung. Kaki saya bergetar sepanjang perjalanan pulang, menahan tumpuan kaki yang belum bisa saya kendalikan. Akan tetapi, getaran yang saya rasakan hingga keesokannya itu tidak sebanding dengan kenikmatan yang ditawarkan oleh Merbabu.

Seseorang sering mengatakan bahwa tujuan mendaki gunung bukanlah mencapai puncaknya, melainkan kembali menuju rumah. Akhirnya, kami berhasil menuruni Jalur Selo selama 2,5 jam lalu bergegas menuju kotanya para seniman.

Kiri atas-kanan bawah: Rizal, Akbar, Iko, Ivan, Adi, Ajeng, saya