4.03.2019

Pulau Bair: Mini Raja Ampat di Kei Kecil



Terletak di Pulau Kei Kecil, Maluku Tenggara, Pulau Bair ternyata memiliki panorama yang tak kalah dengan Raja Ampat di Papua. Dari pusat kota Langgur, kami menuju Desa Dullah yang ditempuh selama 25 menit. Untuk menyeberang dari Desa Dullah menuju Pulau Bair, kami harus merogoh kocek sebesar Rp500 ribu untuk satu perahu. Ah, saya pikir tidak ada salahnya untuk mengintip Pulau Bair dengan laguna tersembunyinya.   

Kami berempat mulai menaiki perahu satu per satu. Mesin pun dinyalakan, memecah keheningan laut kala itu. Hanya ada suara mesin dan riak yang tersapu oleh perahu. Cuaca juga tampaknya mendukung perjalanan kami.

Pulau yang kami idam-idamkan mulai tampak di depan mata. Perlahan-lahan, laut yang berwarna biru tua mulai berubah menjadi biru pirus. Tebing-tebing dengan sekawanan burung berkeliaran turut menghiasi panorama Pulau Bair.  

Dalam bahasa setempat, Baer memiliki arti "tidak terlihat". Ya keindahannya memang tersembunyi namun sungguh melenakan mata. Hamparan pasir putih tampak begitu jelas dari atas kapal. 

Kapal mulai bergerak perlahan seiring dengan air laut yang semakin surut. Laut yang kami susuri juga kian mengecil, terhimpit oleh tebing-tebing. Sang nahkoda pun mematikan mesin kapal, seakan mempersilakan kami untuk menikmati kedamaian laut itu.





Di antara tebing-tebing tadi, ada laguna tersembunyi yang tidak dapat dilalui oleh perahu. Artinya, pengunjung harus berenang untuk menemukan laguna tersebut. Namun, kami berkeliling dengan penduduk yang tak biasa mengantar berwisata sehingga tidak mengetahui keberadaan laguna itu. 

Meski begitu, saya tetap mensyukuri apa yang kami temui. Kami dapat berenang sesuka hati tanpa ada pengunjung lain. Kami juga menikmati lanskap Pulau Bair dari atas tebing. Dari situ, tampak jelas alasan pulau ini disebut sebagai miniatur Raja Ampat. Siapa yang tidak terpikat dengan Pulau Bair? Saya pun semakin tidak sabar untuk berendam hingga jari-jari keriput. 






Usai berendam diri, kami pindah menuju spot snorkeling yang tak jauh dari Pulau Bair. Lagi-lagi, kami tidak bertemu dengan pengunjung lainnya di spot tersebut. Cukup banyak kawanan ikan dan kumpulan karang, namun teman-teman lain memilih bersantai di atas perahu. Sementara itu saya asyik berenang di dekat perahu.

Waktu pun bergulir begitu cepat. Kami pun menyudahi perjalanan dan kembali ke Dullah. Kami pun masih memiliki dua hari lagi untuk meniliki pesona Pulau Kei lainnya.

Cheers!

3.09.2019

Pelarian Akhir Pekan ke Ungaran

Gunung Ungaran bisa jadi salah satu solusi untuk pelarian pada akhir pekan. Kenapa? Pendakian gunung ini termasuk lebih singkat bila dibandingkan gunung lainnya, sekitar lima jam —estimasi menggunakan carrier—dari base camp sampai puncak. Ketinggiannya pun mencapai 2.050 mdpl, lebih rendah dibandingkan gunung lainnya.

Saya dan rombongan berangkat dari Jakarta menggunakan Kereta Tawang Jaya nyaris tengah malam. Lama perjalanan yang ditempuh sekitar tujuh jam hingga tiba di Stasiun Semarang Poncol. Ah, betapa rindunya saya berada di dalam kereta dengan perjalanan yang cukup lama, meskipun punggung harus tegak selama terlelap.

Oh ya, awalnya saya sempat menduga destinasi perjalanan kali ini merupakan sebuah bukit, yang tentunya nggak perlu persiapan gono-gini. Jadi perjalanan ini saya lakukan tanpa persiapan fisik sama sekali. 

Padahal, Ungaran merupakan sebuah gunung. Ya yang namanya gunung, sejatinya tetap saja gunung. Jadi, jangan sesekali menganggap remeh gunung, apalagi seperti saya yang dasarnya jarang ke gunung..  
Dok. Ahmad Haidar
Kami tiba di Stasiun Semarang Poncol dan rehat sejenak di rumah temannya teman saya. Setelah mempersiapkan amunisi, kami memulai perjalanan menuju Stasiun Tawang. Dari situ, kami menggunakan TransJateng dan (seharusnya) turun di Pasar Bandungan. Karena kebablasan, kami turun di Terminal Bawen lalu dilanjutkan dengan angkot yang serupa elf menuju Polin. Perjalanan disambung dengan angkot yang kami sewa hingga base camp Ungaran.

Setiba di base camp, rintik hujan mulai membasahi Ungaran. Semesta sepertinya ingin membuat saya senang dengan memberikan pengalaman baru: mendaki saat hujan. Ya, ini merupakan pertama kalinya bagi saya. Bila tak hujan, saya tidak akan pernah tahu daya tahan rain cover yang saya bawa. Di sisi lain, saya harus rela mendapati buku di dalam tas yang terlanjur basah.

Untungnya, kami diberkahi jalur bonus dari base camp sampai pos 3. Selain itu, jalur ini juga menawarkan sumber mata air, tepatnya sebelum pos 2. Pendakian kami tempuh di tengah ritme hujan gerimis-reda-gerimis-reda. Beberapa kali kami juga menemukan pacet dalam pendakian ini.


Setelah memperhitungkan estimasi waktu, kami memutuskan bertenda di pos 4. Sesaat setelah tenda berhasil dibangun, ternyata hujan deras turun. Kami pun segera membersihkan diri dan makan malam, lalu dilanjutkan istirahat.


Summit Attack

Meski hujan turun semalaman, pagi hari di Ungaran tidak terlalu dingin. Namun, bebatuan terjal sudah siap menyambut kami. Pendakian dari pos 4 menuju puncak diwarnai dengan langkah kaki yang tinggi —lutut bertemu dengan perut—. Tak jarang, saya juga menggunakan bantuan tangan untuk menggapai bebatuan lainnya. Walau terdengar sulit, nyatanya banyak pendaki yang memilih bertenda di dekat puncak.

Setibanya di puncak, saya menemukan bayang-bayang tiga buah gunung, entah apa namanya. Bila dibandingkan gunung lain, memang pemandangannya tidak terlalu menawan. Namun tetap memikat bagi penduduk kota seperti saya.

Dok. Ahmad Haidar




Dok. Ahmad Haidar
Usai kembali dari puncak, kami bergegas merapikan tenda dan menuju base camp Mawar. Waktu yang tersisa tidaklah banyak. Kami harus tiba di Stasiun Semarang Poncol pada 13.00. 

Tapi entah bagaimana, kami justru berbelok melewati jalur turun yang berbeda. Kami melintasi perkebunan teh dan kopi pada perjalanan pulang. Meski menyenangkan, pendaki yang melalui jalur itu harus mengeluarkan biaya retribusi yang dihitung per kepala. Setelah disusuri, ternyata jalur perkebunan tersebut kembali bertemu dengan jalur menuju base camp Mawar.

Setelah sampai di base camp, tidak ada kesempatan bagi kami untuk membersihkan diri. Kami memilih naik ojek menuju jalan raya, kemudian disambung angkot carter hingga Stasiun Semarang Poncol. 

Pelarian akhir pekan ini memang terbilang singkat. Namun, perjalanan ini akan menjadi cukup untuk melupakan sejenak kehidupan ibu kota. Gunung Ungaran juga memberikan pelajaran, pengalaman, dan teman-teman baru yang menyenangkan.

Cheers!

Full team: Kak Denny, Karin, Kak Fadhil, Kak Felix, Kak Anas, Kak Rizal, Kak Hai










Rincian biaya (tanpa makan)
23-24 Februari 2019

Kereta Tawang Jaya PP : Rp300.000

TransJateng (tas dihitung 3)  : Rp3.500/orang 

Angkot elf terminal—Polin  : Rp3.500/orang

Angkot carter Polin—Mawar : Rp200.000

Tiket masuk basecamp : Rp5.000/orang

Tiket pendakian : Rp5.000/orang

Sewa tenda dan matras : Rp150.000

Retribusi kebun teh Sekendil : Rp5.000/orang

Ojek base camp—pasar (7 orang) : Rp150.000

Angkot Ungaran—Stasiun Poncol : Rp250.000


1.27.2019

Menginjakkan Kaki di Pulau Kei

Baru kali ini saya merasakan berada dalam sebuah pesawat, namun cukup lama. 

Saya bertolak dari Jakarta menuju Maluku Tenggara, tepatnya Pulau Kei. Sedikit membosankan memang, menempuh perjalanan selama 7 jam. Apalagi, perjalanan yang seharusnya ditempuh berdua dengan kawan saya, Hanung , terpisahkan oleh waktu penerbangan yang berbeda. Ini murni kesilapan kami saat memesan tiket.

Tapi, saya menikmati setiap detik berada di ketinggian. Mengamati secuil semesta yang tersingkap dari balik jendela pesawat, bagi saya tidak pernah menjemukan. Bila perlu, saya akan menutup novel di tangan, mematikan layar TV, menahan kantuk, lalu mengamati hamparan dari pesawat.

Hari itu saya bertolak pukul 6 pagi dari Jakarta. Saya singgah selama 50 menit di Ambon, lalu pindah ke pesawat jenis ATR. Pesawat kecil itu pun berhasil menginjak Kepulauan Kei pada 13:50 WIT.

Setibanya di Kei, saya bertemu dengan Auli, teman SMA Hanung yang merantau demi kariernya. Saya juga berkenalan dengan teman Auli yang merantau di Tanah Evav tersebut. Tanpa mereka, tidak akan ada perjalanan menuju Pulau Kei ini.

Tidak banyak yang kami lakukan pada hari pertama. Saya dan Hanung menghabiskan waktu dengan berkenalan dengan teman-teman Auli serta mencari pengganjal perut.


Biru Permata di Goa Hawang

Memasuki hari kedua, kami mengunjungi Goa Hawang di Desa Letvuan, 16 kilometer dari Langgur. Keindahan goa ini tidak akan saya lupakan. Warna biru yang dipancarkan dari airnya bagai permata tersembunyi. Goa ini juga dihiasi dengan stalaktit dan stalakmit berusia ratusan tahun. Sementara, airnya berasal dari tanah.

Kabarnya, orang yang berenang di goa ini akan awet muda dan enteng jodoh. Nggak mau rugi, saya tak mau melewatkan kesempatan ini. Lol.


Dok. Hanung WL

Waktu terbaik untuk mengunjungi goa ini ialah pukul 13.00-14.00. Kenapa? Pada waktu tersebut, cahaya matahari akan masuk ke dalam goa. Tanpa sinar matahari langsung, air akan terasa dingin dan... lebih gelap tentunya.

Saya datang sekitar pukul 11 saat sinar matahari sayup-sayup menembus celah pohon dan mulut goa. Saat berenang, sesekali saya membayangkan hal mistis karena pandangan yang cukup gelap. Oh ya kabar lainnya, hawang memiliki arti 'arwah'. Masyarakat setempat percaya adanya arwah terkutuk dalam goa ini.

Seandainya tidak diburu waktu, ingin rasanya berlama-lama dalam goa ini. Misterius, tapi menawan di mata saya.

Selepas dari Goa Hawang, kami rehat sejenak di pantai terdekat, menanti kawan kami melaksanakan Solat Jumat. Oya, masyarakat Desa Letvuan sebagian besar memeluk agama Kristen. Jadi, sulit untuk menemukan masjid di daerah ini. Beruntungnya, kami masih menemukan satu masjid yang ditempuh sekitar 15 menit dengan menggunakan motor dari Goa Hawang.

Siang harinya, kami mengunjungi rumah makan sea food, yang saya lupa lokasi persisnya. Tak ketinggalan, kami memesan salah satu makanan khas Kei, yaitu embal. Embal terbuat dari singkong yang beracun, rasanya pun unik: tawar namun tetap nikmat di lidah saya. Ah, atau ini karena saya hobinya mengunyah?

Cara pembuatan dan bentuknya pun bermacam-macam. Ada yang dicetak, dijadikan bubuk, digoreng, dan lainnya. Untuk menyantapnya, bisa digado, dimakan dengan ikan kuah atau lainnya, bisa ditemani dengan teh. 

Dok. Hanung WL

Pasir Terlembut di Pantai Ngurbloat

Salah satu momen yang tidak boleh saya lewatkan ketika di pantai ialah menyaksikan matahari tenggelam. Kami mengunjungi Pantai Ngurbloat atau biasa disebut Pantai Pasir Panjang yang terletak di Tual. Ketika saya menginjakkan kaki di pantai ini, saya bersumpah bahwa pasir di pantai ini merupakan pasir terlembut yang saya rasakan. Seperti tepung!

Senja yang disajikan di pantai ini pun tak main-main, begitu sempurna. Saya menyaksikan senja di cakrawala tanpa batas. Sore itu terasa begitu sempurna buat saya. 






Perjalanan yang telah kami lewati hari ini membuat saya semakin penasaran. Kami masih memiliki waktu selama empat hari ke depan untuk mengunjungi Pulau Bair, Bukit Masbait, Pantai Ohoidertawun, dan Morella Ambon.

Jadi, keindahan apa lagi yang akan ditawarkan Pulau Kei? Mengapa kamu bisa begitu menawan?