4.14.2018

Mitos Si Tiga Warna Kelimutu






Masih ingat uang kertas pecahan Rp5.000 (lima ribu rupiah) yang beredar di tahun 1990-an? Pada uang kertas tersebut ada gambar Danau Kelimutu yang memiliki tiga kawah menganga besar. Uniknya, masing-masing warna ketiga danau itu berbeda, yaitu merah, biru, dan putih. Dan anehnya lagi, sewaktu-waktu warna pada danau-danau tersebut bisa berubah menjadi warna lain, tergantung situasi yang sedang terjadi.
Terbit di Airmagz, Edisi 26, April 2017

Taman Nasional Kelimutu merupakan kawasan konservasi terkecil dari enam taman nasional lainnya yang tersebar mulai dari Bali hingga Nusa Tenggara. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 679/Kpts-II/1997 tanggal 10 Oktober 1997, luas taman nasional ini mencakup 5.356,50 ha. Taman Nasional Kelimutu berada di tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Detsuko, Kecamatan Wolowaru, dan Kecamatan Ndona.

Selain keindahan kawahnya, flora dan fauna di Taman Nasional Kelimutu juga menjadi daya tarik tersendiri bagi para pecinta alam. Sebab, di kawasan ini terdapat 19 jenis hewan endemik dan hewan langka. Beberapa jenis satwa endemik tersebut mulai dari burung gerugiwa (Monarcha sp), tikus lawo (Rattushainaldi), tikus gunung (Bunomys naso), deke (Papagomys armandvillei), hingga wawi ndua (Susheureni). Sementara satwa lain yang terdapat di Kelimutu antara lain ayam hutan, banteng, kijang, rusa, babi hutan, elang, srigunting, luwak, trenggiling, landak, kancil, dan satwa lainnya.

Area Kelimutu juga menjadi habitat bagi beberapa burung yang statusnya terancam punah. Burung-burung tersebut antara lain punai flores (Treron floris), hantu wallacea (Otus silvicola), cabai emas (Dicaeum annae), elang flores (Spizeatus floris), burung madu matari (Nectarinia solaris), kancilan flores (Pachycephala nudigula), sepah kerdil (Pericrocotus lansbergei), tesia timor (Tesia everetti), opior jambul (Lophozosterops dohertyi), opior paruh tebal (Heleia crassirostris), kehicap flores (Monarcha sacerdotum), dan sikatan rimba-ayun (Rhinomvias oscillans).

Kawasan Kelimutu dikelilingi oleh hutan dengan berbagai flora spesial. Pohon pinus, cemara, redwood, hingga edelweis juga tumbuh di wilayah Kelimutu. Tanah di sekitar gunung merupakan tanah kering dengan pasir yang tidak stabil. Pengunjung hanya diperbolehkan berkeliling di sekitar Danau Kelimutu agar keselamatan pengunjung lebih terjaga.


Arti Kata Kelimutu

Kelimutu memiliki arti "gunung yang mendidih". Masing-masing danau di Kelimutu memiliki nama lokal serta mitos masing-masing. Danau pertama ialah Tiwu Nuwa Muri Koo Fai, yang artinya "tempat jiwa muda-mudi yang telah meninggal". Lalu danau yang kedua, yang kerap berwarna merah, memiliki nama Tiwu Ata Polo, yakni "tempat jiwa yang sudah meninggal tapi semasa hidupnya kerap melakukan kejahatan".

Sedangkan danau yang ketiga adalah Tiwu Ata Mbupu atau "tempat berkumpulnya jiwa orang tua". Ketiga danau tersebut memiliki kesamaan mitos yang serupa, yaitu tempat jiwa-jiwa yang sudah meninggal.

Apabila ditilik dari sudut pandang ilmiah, keindahan kawah-kawah di Kelimutu terbentuk akibat letusan Gunung Kelimutu pada tahun 1886. Perubahan warna di Danau Kelimutu disebabkan oleh proses kimiawi dan geologis, seperti biota lumut, kandungan mineral, batu-batuan yang terdapat di dalam danau, serta cahaya matahari. Keunikan kawah-kawah tersebut menarik minat ilmuwan maupun ahli geologi dari berbagai negara untuk menelitinya.

Waktu terbaik untuk mengunjungi Kelimutu ialah pada pagi hari sebelum kabut menyelimuti kawasan ini. Biasanya, kabut akan menutupi kawah pada pukul 7 hingga 9 pagi. Dari Moni, sebaiknya pengunjung berangkat pada pukul 3 dini hari untuk menyaksikan semburat mentari muncul perlahan. Sembari menunggu sang surya terbit, pengunjung dapat menyesap minuman hangat atau kudapan ringan yang dijual masyarakat lokal di sekitar Tugu Pandang. Jangan lupa membawa jaket, kaos kaki, senter, dan minuman sebagai bekal pendakian.

Dari tempat parkir, waktu yang diperlukan untuk mencapai puncak kurang lebih 30 menit hingga satu jam. Jalan setapak dan ratusan anak tangga akan mempermudah pengunjung untuk mendaki. Tanjakan menuju puncak dapat dikaterogikan sebagai tanjakan santai. Setelah tiba di puncak, sebuah area bernama Tugu Pandang akan menyambut kehadiran pengunjung. 


Foto: Ika Andriani


Foto: Ika Andriani


Foto: Ika Andriani


Mitos Danau Kelimutu 

Danau Kelimutu dipercaya sebagai tempat yang sakral oleh masyarakat setempat. Arwah seseorang yang telah meninggal dipercaya akan menetap di Danau Kelimutu untuk selamanya. Sebelum tiba di salah satu danau, arwah akan menghadap Konde Ratu, penjaga pintu masuk. 

Ada beberapa ritual yang dilakukan masyarakat bila berkunjung ke Danau Kelimutu. Saat tiba di gerbang masuk Taman Nasional Kelimutu, masyarakat biasa memencet klakson kendaraannya sebanyak tiga kali di pintu masuk. Ritual tersebut dipercaya untuk menyampaikan salam kepada arwah-arwah yang ada. Jika sebelum gerbang masuk bertemu dengan orang yang berjalan kaki, masyarakat meyakini bahwa orang tersebut merupakan arwah yang baru saja meninggal. 

Warna Danau Kelimutu pun memiliki arti tersendiri bagi masyarakat setempat. Jika salah satu danau terlihat berwarna merah, masyarakat percaya bahwa negara Indonesia sedang dalam bahaya. Jika danau berwarna biru, Indonesia sedang dalam keadaan aman. Cerita lainnya, jika danau berwarna merah, ada masyarakat yang meyakini ada warga yang baru saja meninggal. 

Bahkan bagi suku Lio, perubahan warna tersebut dapat menunjukkan tanda-tanda perubahan alam yang dahsyat. Pasalnya, saat tahun 1992, Pulau Flores mengalami tsunami yang banyak menelan korban jiwa seiring dengan perubahan warna kawah menjadi merah. Begitu pula saat terjadi tsunami di Aceh pada tahun 2004, Danau Tiwu Ata Polo berubah menjadi merah. 

Danau Tiwu Ata Mbupu (Danau Orang Tua)
Foto: Ika Andriani


Akses Menuju Danau Kelimutu 

Untuk menuju Ende, penerbangan yang dapat dipilih ialah Kupang-Ende, Tambolaka-Ende, dan Labuan Bajo-Ende. Dari ibukota Jakarta, sebagian besar rute penerbangan memerlukan transit dua kali. Pertama, transit di Surabaya atau Bali, kemudian di Kupang, Tambolaka, atau Labuan Bajo. 

Di Ende, perjalanan menuju Desa Koanara dapat ditempuh dengan minibus, mobil, atau kendaraan charter-an. Jarak dari Ende menuju Desa Koanara sekitar 66 kilometer atau tiga jam perjalanan. Selain itu, moda umum semacam bus kayu (orang setempat menyebutnya oto kol) dapat menjadi alternatif kendaraan menuju Moni. 

Rute perjalanan yang ditempuh berkelok-kelok. Meski demikian, pemandangan yang disuguhkan bakal memanjakan mata bagi siapa saja yang lewat. Dari Moni, ojek hingga penyewaan mobil tersedia banyak untuk mengantar ke kawasan Kelimutu. Jarak tempuh dari Moni hingga Kelimutu berkisar 15 kilometer. Penginapan seperti home stay, bungalow, eco-lodge juga tersedia di Moni hingga di kaki gunung Kelimutu. 

Jika ingin membeli kain khas Flores, alangkah baiknya membeli kain yang dijajakan oleh penduduk lokal di sekitar Kelimutu. Kain tenun tersebut dapat melindungi tubuh dari dinginnya hawa Kelimutu. 

Ingin merasakan pendakian yang berbeda? Cobalah untuk bertandang pada bulan Agustus. Sebab, setiap tahunnya, di kawasan Taman Nasional Kelimutu ada Festival Kelimutu. Pemda Ende didukung oleh Kementerian Pariwisata lndonesia menggelar berbagai agenda dalam festival tersebut. Perlombaan tari, karnaval budaya, hingga ritual Pati Ka Du'a Bapu Ata Mata dapat menjadi daya pikat bagi penikmat wisata budaya. 


Wisata Lain di Ende 

Selain Kelimutu, Ende juga dikenal sebagai Kota Pancasila. Pasalnya, Bung Karno pernah diasingkan di Ende selama empat tahun, tepatnya tahun 1934 hingga 1938. Di kota ini, Bung Karno mencetuskan nilai-nilai luhur Pancasila. Ia melahirkan ide Pancasila saat sedang merenung di bawah pohon sukun yang bercabang lima. Untuk menelusuri lebih lanjut sejarah tersebut, para pelancong dapat berkunjung ke Taman Renungan Bung Karno di pusat Kota Ende. 

Selain Taman Renungan Bung Karno, para pengunjung juga dapat menyambangi rumah pengasingan Bung Karno di Jalan Perwira, Nusa Tenggara Timur. Di dalam rumah pengasingan ini, pengunjung dapat melihat naskah pertunjukan yang dibuat oleh Bung Karno selama masa pengasingan. Kedua lokasi ini dapat menjadi destinasi menarik saat pelesiran ke Ende.