8.06.2018

Menyapa Negeri Morella


Tak pernah terlintas di kepala tentang keindahan Ambon. Apalagi menginjakkan kaki di tanah rempah-rempah itu.

Saya hanya memiliki waktu selama 5 jam untuk singgah di Ambon, menanti penerbangan selanjutnya menuju pangkuan ibu kota. Lebih tepatnya, saya mendapat kesempatan transit pada penerbangan Kepulauan Kei, Maluku Tenggara-Jakarta. Awalnya saya tidak tahu harus membunuh waktu dengan gaya apa, sampai akhirnya bertemu dengan Rahmi. 

Kami baru saja berkenalan di Tual, Kepulauan Kei. Dengan semangatnya yang meletup-letup, Rahmi merekomendasikan setitik permata di bawah laut, yaitu Lubang Buaya, tepatnya di Desa Morella, Leihitu, Ambon. Ia mengatakan, memang cukup riskan untuk mengunjungi Lubang Buaya dalam jeda transit lima jam. Namun, jika saya cukup nekat dan supir menyanggupi, Rahmi yakin saya dapat menelisik Lubang Buaya lalu namaste di dalam pesawat. Di satu sisi, kawan saya yang lainnya justru menggelengkan kepala, pertanda waktu yang saya miliki tidak cukup untuk ke Lubang Buaya. 

Akhirnya, saya mengikuti saran Rahmi.

Sampai hari kepulangan tiba, saya berusaha menghemat waktu dengan segala cara. Mulai dari menggendong ransel yang beranak pinak sampai dalam kabin pesawat, membalut diri dengan baju renang, hingga menahan hasrat ke toilet. 

Pesawat yang saya tumpangi telah lepas landas pada pukul 6 pagi dan tiba di Ambon satu setengah jam setelahnya. Ketika kaki ini telah menyentuh Ambon, saya segera menghubungi Bang Ical dan Bapak Levy yang sudah menanti di pintu kedatangan penumpang.

Kami melesat menuju Negeri (Desa) Morella selama satu jam. Bang Ical pun menyuguhi kisah dari tempat tinggalnya, Leihitu. 

Leihitu memiliki tradisi bernama Baku Pukul Manyapu yang digelar tujuh hari selepas Idul Fitri. Ya, jangan heran karena penduduk Leihitu memeluk Islam.

Melansir dari laman Kodam XVI Pattimura, Baku Pukul Manyapu atau pukul sapu lidi mencerminkan perlawanan antara pasukan Kapitan Tulukabessy dan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Sebelum dimulai, warga akan menampilkan pertunjukan tarian hingga atraksi bambu gila. Yang menarik, acara intinya ialah tradisi pukul memukul dengan sapu hingga badan terluka. Eits, jangan resah dan gelisah dulu. Sebab warga setempat juga mempunyai obat mujarab berupa getah pohon jarak atau minyak tasala.

Adat ini sempat menjadi konflik pengakuan antara Desa Morella dan Desa Mamala. Namun, permasalahan tersebut sudah larut dalam kebersamaan kedua desa itu.

Tanpa terasa, kami akhirnya tiba di Morella, sebuah desa cilik yang hangat. Sebenarnya, Morella masih menyimpan banyak destinasi pantai. Namun, saya masih belum puas untuk menyapa kawanan ikan.

Beruntungnya saya di hari itu, langit sedang terik-teriknya. Warna biru pirus tampak memantul dari kejauhan. Saat itu tak ada kehadiran pengunjung lain, sebuah pengalaman mewah bagi saya. Ah, rasanya tidak sabar membenamkan diri ke laut!

Lubang Buaya memiliki hamparan karang yang begitu luas. Taman koral tersebut membentuk tebing dengan goa besar yang bisa dinikmati dengan diving. Tapi tidak perlu khawatir, aktivitas snorkeling di tempat ini juga menjanjikan banyak hal. Untuk pertama kalinya, saya bisa melihat tebing yang ditumbuhi karang lalu menjorok ke palung dalam. Meski membentuk palung, habitat ikan ini memanjang di sepanjang pulau, seakan tak ada habisnya!

Di tempat ini pula, saya baru bertemu dengan ikan cantik serupa bunga. Namun, keindahannya juga mematikan bagi manusia karena racun yang ia miliki. Tidak ketinggalan pula, saya dapat mengamati sekelompok ikan yang diam namun berjajar rapi. 'Ikan upacara', begitu saya menamai mereka.
Can you spot the fish?
Meski lanskapnya begitu membuai, rasa was-was tetap menghampiri saya. Iya, saya mempercayai prinsip 'jangan menyelam sendiri'. Tentu saja pedoman itu berlaku untuk snorkeling. Lagipula, dekat karang tersebut terdapat jurang yang belum ditemukan dasarnya. Terkadang, saya bisa panik sendiri jika melihat laut tak berujung. Jadi, saya meminta Bang Ical untuk menemani snorkeling. Sementara itu, Bapak Levy memilih bercengkrama di daratan karena ia kerap mabuk dengan laut. 

Pikiran saya tertuju pada sekelompok ikan yang asyik berenang. Kira-kira, apa yang ada di pikiran mereka? Tak lama kemudian, Bang Ical memanggil saya. Katanya, ia baru saja terkena sengatan ubur ubur.

Ah ya, jika ingin ke Lubang Buaya, ada baiknya membawa snorkeling gear sendiri. Sebab, Bang Ical yang lupa membawa peralatannya, merasa tidak cocok dengan alat mask yang disewakan.




Si ramah Bang Ical :)
One of my fav! Bunga serupa putri malu
Waktu memang bergulir terlalu cepat. Tanpa terasa, jari-jari mulai keriput. Matahari mulai bergerak menuju puncaknya. Bercengkrama dengan ikan setempat harus dicukupkan dalam waktu satu jam lima belas menit. Waktu keberangkatan pesawat semakin dekat. Kami segera membasuh diri, tanpa sempat membersihkan peralatan apalagi menikmati Lubang Buaya dari daratan.

Saya tau ini gila. Kami baru saja melesat ke bandara pada 2 jam sebelum pesawat lepas landas. Catat, sebelum pesawat lepas landas. Padahal waktu perjalanan yang harus ditempuh hampir satu jam lamanya haha. 

Sepanjang perjalanan, saya tiada henti-hentinya merapalkan doa. Namun nasib memang nasib, kami justru terjebak di tengah perjalanan karena warga yang memotong pohon di siang bolong. Pohon itu dibiarkan jatuh melintangi jalan, menghalau setiap pengendara yang ingin lewat. Kabarnya, warga setempat memang biasa melakukan hal ini.

Rasanya, emosi hingga ubun-ubun bercampur perut mulas menyergap secara bersamaan. Beruntung, warga akhirnya membelah pohon tersebut sehingga kami dapat lewat. Bapak Levy pun menyetir dengan cekatan sehingga saya masih sempat mengejar penerbangan meski sudah memasuki panggilan terakhir. Dengan izin semesta, saya masih bisa ikut duduk manis di dalam pesawat.

Sungguh lima jam yang gila, tapi saya terlanjur jatuh hati. Lubang Buaya memang seperti berlian tersembunyi. Terpencil, namun keelokannya melenakan jiwa. Untuk pertama kalinya pula, saya menitikkan air mata karena mengunjungi suatu tempat. Semoga kelak saya dapat dipertemukan kembali dengan Amboina.

Amatoo!


7.14.2018

Perjalanan



Untuk pertama kalinya aku mensyukuri jarak perjalanan cukup jauh yang harus kami tempuh, dari kota hujan sampai bandar udara

Aku tenggelam dalam kisahnya

Tutur katanya seakan membuatku lupa tujuan

Aku pun bertanya-tanya, mengapa lalu lintas saat itu bebas dari hambatan?

Waktu dua jam terasa bagai kedipan mata

Hingga tibalah kami di akhir perjumpaan

Langkah kakinya mulai bergerak menjauh

Hingga tersisa aku, menyaksikan punggung yang pergi perlahan

Entah kapan kami akan kembali dipertemukan

***

Pagi ini rasanya ada godaan berat untuk membukakan mata dan menunaikan ibadah.
Lucunya, Allah seperti tak kehilangan cara untuk mengingatkan umatnya.
Ia mengirimkan seseorang yang mendampingiku solat, meski hanya melalui mimpi.


(14/7/18)



4.14.2018

Mitos Si Tiga Warna Kelimutu






Masih ingat uang kertas pecahan Rp5.000 (lima ribu rupiah) yang beredar di tahun 1990-an? Pada uang kertas tersebut ada gambar Danau Kelimutu yang memiliki tiga kawah menganga besar. Uniknya, masing-masing warna ketiga danau itu berbeda, yaitu merah, biru, dan putih. Dan anehnya lagi, sewaktu-waktu warna pada danau-danau tersebut bisa berubah menjadi warna lain, tergantung situasi yang sedang terjadi.
Terbit di Airmagz, Edisi 26, April 2017

Taman Nasional Kelimutu merupakan kawasan konservasi terkecil dari enam taman nasional lainnya yang tersebar mulai dari Bali hingga Nusa Tenggara. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 679/Kpts-II/1997 tanggal 10 Oktober 1997, luas taman nasional ini mencakup 5.356,50 ha. Taman Nasional Kelimutu berada di tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Detsuko, Kecamatan Wolowaru, dan Kecamatan Ndona.

Selain keindahan kawahnya, flora dan fauna di Taman Nasional Kelimutu juga menjadi daya tarik tersendiri bagi para pecinta alam. Sebab, di kawasan ini terdapat 19 jenis hewan endemik dan hewan langka. Beberapa jenis satwa endemik tersebut mulai dari burung gerugiwa (Monarcha sp), tikus lawo (Rattushainaldi), tikus gunung (Bunomys naso), deke (Papagomys armandvillei), hingga wawi ndua (Susheureni). Sementara satwa lain yang terdapat di Kelimutu antara lain ayam hutan, banteng, kijang, rusa, babi hutan, elang, srigunting, luwak, trenggiling, landak, kancil, dan satwa lainnya.

Area Kelimutu juga menjadi habitat bagi beberapa burung yang statusnya terancam punah. Burung-burung tersebut antara lain punai flores (Treron floris), hantu wallacea (Otus silvicola), cabai emas (Dicaeum annae), elang flores (Spizeatus floris), burung madu matari (Nectarinia solaris), kancilan flores (Pachycephala nudigula), sepah kerdil (Pericrocotus lansbergei), tesia timor (Tesia everetti), opior jambul (Lophozosterops dohertyi), opior paruh tebal (Heleia crassirostris), kehicap flores (Monarcha sacerdotum), dan sikatan rimba-ayun (Rhinomvias oscillans).

Kawasan Kelimutu dikelilingi oleh hutan dengan berbagai flora spesial. Pohon pinus, cemara, redwood, hingga edelweis juga tumbuh di wilayah Kelimutu. Tanah di sekitar gunung merupakan tanah kering dengan pasir yang tidak stabil. Pengunjung hanya diperbolehkan berkeliling di sekitar Danau Kelimutu agar keselamatan pengunjung lebih terjaga.


Arti Kata Kelimutu

Kelimutu memiliki arti "gunung yang mendidih". Masing-masing danau di Kelimutu memiliki nama lokal serta mitos masing-masing. Danau pertama ialah Tiwu Nuwa Muri Koo Fai, yang artinya "tempat jiwa muda-mudi yang telah meninggal". Lalu danau yang kedua, yang kerap berwarna merah, memiliki nama Tiwu Ata Polo, yakni "tempat jiwa yang sudah meninggal tapi semasa hidupnya kerap melakukan kejahatan".

Sedangkan danau yang ketiga adalah Tiwu Ata Mbupu atau "tempat berkumpulnya jiwa orang tua". Ketiga danau tersebut memiliki kesamaan mitos yang serupa, yaitu tempat jiwa-jiwa yang sudah meninggal.

Apabila ditilik dari sudut pandang ilmiah, keindahan kawah-kawah di Kelimutu terbentuk akibat letusan Gunung Kelimutu pada tahun 1886. Perubahan warna di Danau Kelimutu disebabkan oleh proses kimiawi dan geologis, seperti biota lumut, kandungan mineral, batu-batuan yang terdapat di dalam danau, serta cahaya matahari. Keunikan kawah-kawah tersebut menarik minat ilmuwan maupun ahli geologi dari berbagai negara untuk menelitinya.

Waktu terbaik untuk mengunjungi Kelimutu ialah pada pagi hari sebelum kabut menyelimuti kawasan ini. Biasanya, kabut akan menutupi kawah pada pukul 7 hingga 9 pagi. Dari Moni, sebaiknya pengunjung berangkat pada pukul 3 dini hari untuk menyaksikan semburat mentari muncul perlahan. Sembari menunggu sang surya terbit, pengunjung dapat menyesap minuman hangat atau kudapan ringan yang dijual masyarakat lokal di sekitar Tugu Pandang. Jangan lupa membawa jaket, kaos kaki, senter, dan minuman sebagai bekal pendakian.

Dari tempat parkir, waktu yang diperlukan untuk mencapai puncak kurang lebih 30 menit hingga satu jam. Jalan setapak dan ratusan anak tangga akan mempermudah pengunjung untuk mendaki. Tanjakan menuju puncak dapat dikaterogikan sebagai tanjakan santai. Setelah tiba di puncak, sebuah area bernama Tugu Pandang akan menyambut kehadiran pengunjung. 


Foto: Ika Andriani


Foto: Ika Andriani


Foto: Ika Andriani


Mitos Danau Kelimutu 

Danau Kelimutu dipercaya sebagai tempat yang sakral oleh masyarakat setempat. Arwah seseorang yang telah meninggal dipercaya akan menetap di Danau Kelimutu untuk selamanya. Sebelum tiba di salah satu danau, arwah akan menghadap Konde Ratu, penjaga pintu masuk. 

Ada beberapa ritual yang dilakukan masyarakat bila berkunjung ke Danau Kelimutu. Saat tiba di gerbang masuk Taman Nasional Kelimutu, masyarakat biasa memencet klakson kendaraannya sebanyak tiga kali di pintu masuk. Ritual tersebut dipercaya untuk menyampaikan salam kepada arwah-arwah yang ada. Jika sebelum gerbang masuk bertemu dengan orang yang berjalan kaki, masyarakat meyakini bahwa orang tersebut merupakan arwah yang baru saja meninggal. 

Warna Danau Kelimutu pun memiliki arti tersendiri bagi masyarakat setempat. Jika salah satu danau terlihat berwarna merah, masyarakat percaya bahwa negara Indonesia sedang dalam bahaya. Jika danau berwarna biru, Indonesia sedang dalam keadaan aman. Cerita lainnya, jika danau berwarna merah, ada masyarakat yang meyakini ada warga yang baru saja meninggal. 

Bahkan bagi suku Lio, perubahan warna tersebut dapat menunjukkan tanda-tanda perubahan alam yang dahsyat. Pasalnya, saat tahun 1992, Pulau Flores mengalami tsunami yang banyak menelan korban jiwa seiring dengan perubahan warna kawah menjadi merah. Begitu pula saat terjadi tsunami di Aceh pada tahun 2004, Danau Tiwu Ata Polo berubah menjadi merah. 

Danau Tiwu Ata Mbupu (Danau Orang Tua)
Foto: Ika Andriani


Akses Menuju Danau Kelimutu 

Untuk menuju Ende, penerbangan yang dapat dipilih ialah Kupang-Ende, Tambolaka-Ende, dan Labuan Bajo-Ende. Dari ibukota Jakarta, sebagian besar rute penerbangan memerlukan transit dua kali. Pertama, transit di Surabaya atau Bali, kemudian di Kupang, Tambolaka, atau Labuan Bajo. 

Di Ende, perjalanan menuju Desa Koanara dapat ditempuh dengan minibus, mobil, atau kendaraan charter-an. Jarak dari Ende menuju Desa Koanara sekitar 66 kilometer atau tiga jam perjalanan. Selain itu, moda umum semacam bus kayu (orang setempat menyebutnya oto kol) dapat menjadi alternatif kendaraan menuju Moni. 

Rute perjalanan yang ditempuh berkelok-kelok. Meski demikian, pemandangan yang disuguhkan bakal memanjakan mata bagi siapa saja yang lewat. Dari Moni, ojek hingga penyewaan mobil tersedia banyak untuk mengantar ke kawasan Kelimutu. Jarak tempuh dari Moni hingga Kelimutu berkisar 15 kilometer. Penginapan seperti home stay, bungalow, eco-lodge juga tersedia di Moni hingga di kaki gunung Kelimutu. 

Jika ingin membeli kain khas Flores, alangkah baiknya membeli kain yang dijajakan oleh penduduk lokal di sekitar Kelimutu. Kain tenun tersebut dapat melindungi tubuh dari dinginnya hawa Kelimutu. 

Ingin merasakan pendakian yang berbeda? Cobalah untuk bertandang pada bulan Agustus. Sebab, setiap tahunnya, di kawasan Taman Nasional Kelimutu ada Festival Kelimutu. Pemda Ende didukung oleh Kementerian Pariwisata lndonesia menggelar berbagai agenda dalam festival tersebut. Perlombaan tari, karnaval budaya, hingga ritual Pati Ka Du'a Bapu Ata Mata dapat menjadi daya pikat bagi penikmat wisata budaya. 


Wisata Lain di Ende 

Selain Kelimutu, Ende juga dikenal sebagai Kota Pancasila. Pasalnya, Bung Karno pernah diasingkan di Ende selama empat tahun, tepatnya tahun 1934 hingga 1938. Di kota ini, Bung Karno mencetuskan nilai-nilai luhur Pancasila. Ia melahirkan ide Pancasila saat sedang merenung di bawah pohon sukun yang bercabang lima. Untuk menelusuri lebih lanjut sejarah tersebut, para pelancong dapat berkunjung ke Taman Renungan Bung Karno di pusat Kota Ende. 

Selain Taman Renungan Bung Karno, para pengunjung juga dapat menyambangi rumah pengasingan Bung Karno di Jalan Perwira, Nusa Tenggara Timur. Di dalam rumah pengasingan ini, pengunjung dapat melihat naskah pertunjukan yang dibuat oleh Bung Karno selama masa pengasingan. Kedua lokasi ini dapat menjadi destinasi menarik saat pelesiran ke Ende.

3.31.2018

Tek-Tok Melalui Gunung Lawu


Bulak Peperangan is magically breathtaking!
Semua bermula dari tawaran Kak Ajeng: ngajak pergi ke gunung yang belum pernah kami kunjungi di Jawa. Dari beberapa kandidat gunung, akhirnya terpilih lah Gunung Lawu dengan ketinggian 3.265 mdpl. 

Tapi setiap kali saya mengorek info Gunung Lawu dari internet, kata mistis, misterius, angker, dan kawan-kawannya seperti sudah melekat dengan gunung ini. Ya meskipun bukan itu yang dipermasalahkan, tapi tetap saja status horor itu membuat saya berpikir dua kali haha. Nama Lawu yang sepertinya tidak santer disebut membuat saya beranggapan medannya sulit. 

Tanpa sadar, waktu mendaki sudah kurang dari satu hari saja. Kondisi badan saya justru mulai memburuk, ditandai dengan bersin yang tak terhitung, tekanan darah menurun, dan ingus yang terus mengucur. Latihan fisik di sela-sela kerja pun terasa kurang. 

Sempat terlintas di pikiran saya untuk membatalkan diri. Tapi rasanya kok tanggung ya. Barang-barang sudah kadung di-packing juga.

Kami memutuskan lewat jalur Candi Cetho, Karanganyar. Jalur ini merupakan jalur terpanjang dibandingkan Cemoro Sewu dan Cemoro Kandang. Untungnya, jalur yang bervegetasi rapat ini termasuk landai. Mungkin itu yang menyebabkan jalur ini dikategorikan paling jauh ya. Jalur Candi Cetho juga ada sumber airnya. Tapi saat musim hujan, trek jalanannya menjadi licin.
Candi Cetho 
Sore itu setibanya di basecamp, hujan deras mengguyur selama 3 jam lebih. Alhasil rencana kami untuk bemalam di gunung mendadak buyar. Kami memutuskan untuk tidur di basecamp, lalu berangkat subuh dan pulang sore harinya alias tek-tok. Ini kali pertama saya mencoba tek-tok dengan membawa daypack berisi pakaian ganti serta cemilan penambah energi.

Kami berenam mulai mendaki beberapa menit sebelum subuh. Ternyata, jalur Candi Cetho memiliki berbagai persimpangan jalan sehingga rawan terpisah satu sama lain, apalagi saat gelap. Jadi, alangkah baiknya tetap berdekatan satu tim. 

Jalur Candi Cetho memiliki 5 pos sebelum sampai di Warung Mbok Yem. Hah warung? Iya, saya juga bingung kok ada warung di atas gunung, jual makanan pula.
Asyiknya, pendaki bisa menginap di Warung Mbok Yem gratis yang penting beli makanannya. 

Awal mula perjalanan dari pos 1 sampai pos 3, saya masih bisa ber-hahahehe-ria sambil sesekali mengelap ingus. Setelahnya, saya mulai mengeluh, kenapa jalannya muter-muter ya? Kapan sampainya? Tapi percayalah semua itu akan TERBAYAR. 

Iya. Beneran terbayar.

Begitu sampai pos 5 atau Bulak Peperangan, kami mulai menikmati buah manis mendaki. Kalau digambarkan, Bulak Peperangan rasanya seperti negeri dongeng dengan sabana yang luas. Meski panas terik, saya mau sekali gegoleran guling-gulingan seharian di sana.

Eh, tapi jangan senang dulu. Ternyata ujian yang sesungguhnya masih menanti. Perjalanan dari pos 5 menuju Warung Mbok Yem benar-benar terasa jauhnya. Sumpah serapah mulai meramaikan suara hati. Mau nangis, tapi kok nggak ada gunanya juga. Ini belum apa-apa, gimana nanti turunnya? 
Sabana yang terlampau luas ini bikin saya bertanya-tanya, "Mana ujungnya?" 
Saya sudah tidak peduli lagi seberapa lelet saya berjalan. Lama kelamaan, pikiran saya sudah tidak mau memikirkan apa-apa lagi, yang penting terus melangkah. Entah nantinya saya akan sampai atau ambruk di jalan. Pendaki lain yang menyapa saya juga mengatakan, "Kok lemes banget?"

Saya cuma bisa menjawab dengan senyum getir.

Detik itu, saya bersumpah tidak akan naik gunung lagi. Ya meskipun niat itu sering terlintas tiap naik gunung, nyatanya saya tetap menerima tawaran mendaki berikutnya hehe.

Akhirnya, kami tiba di Warung Mbok Yem yang teletak beberapa meter di bawah Puncak Hargo Dumilah. Warung ini menjual nasi pecel, telur, sampai mi instan. 

Setelah istirahat sejenak, kami beranjak menuju Puncak Hargo Dumilah yang durasi tempuhnya berkisar 20 menit dari Warung Mbok Yem.

Saat berhasil menapakkan kaki di puncak, rasa syukur mulai meluap dalam diri saya. Senang karena saya dapat bersandar pada tugu Hargo Dumilah. Tapi, jangan heran karena tampang saya masih terlihat datar dari luar.

Mejeng dikit dengan wajah datar gapapa kan ya
Langit kala itu hanya tampak putih polos. Saya pun membayangkan cantiknya horizon itu kalau matahari baru menampakkan diri atau saat senja nyaris menjemput. Dihiasi oleh satu-dua ekor burung jalak yang berhabitat di sana.

Tetap sambil mikir gimana caranya turun ke basecamp dengan sukses. Atau menginap saja di Mbok Yem?

Namun, tidak ada waktu lama untuk bercengkrama dengan puncak tertinggi Gunung Lawu. Beberapa teman saya mengambil langkah-langkah besar saat turun untuk mengejar waktu. Sialnya, trek yang licin itu baru terasa ketika turun. Teman-teman saya pun sempat tergelincir.

Kalau saya?

Nggak perlu ditanya jatuh bangun berapa kali. Ketika belum melewati pos 4, kaki saya sudah gemetar. Entah tangan ini sudah mencabut berapa banyak daun akibat mencari pegangan. 

Akhirnya kami berhenti sejenak di pos 3.

Entah kenapa saat itu saya mulai merasa mual. Belakangan saya baru sadar ternyata masuk angin bisa menyebabkan mual. Mungkin karena baju sudah berkali-kali basah-kering serta kurang makan minum. Padahal saya bawa baju ganti, tapi tidak dimanfaatkan ha ha.

Berhubung kaki sudah tidak stabil, teman saya, Kak Rizal si kuncen gunung, menyuruh saya untuk berjalan di belakang Amal, si pendaki paling woles -dia bisa naik turun gunung sambil nyanyi-.

Saya manut saja berjalan di belakang Amal sampai akhirnya kami berdua terpisah dengan empat teman kami. Sepanjang perjalanan, kami berjalan berdua sambil sesekali berpapasan dengan pendaki yang berlawanan arah.

Entah kenapa malam itu rasanya panjang sekali. Pos 1 rasanya tak kunjung kami temui. Mata saya lama kelamaan mulai berhalusinasi dan membayangkan hal-hal mistis. 

Kami berdua haus, tapi tak ada yang membawa minum. Akhirnya, saya dan Amal berencana untuk meminta minum kepada siapa saja yang kami temui. Alhamdulillah kami mendapatkan sebotol minum dari salah satu pendaki.

Kami pun terus melanjutkan turun hingga saya benar-benar merasa lelah. 

Saya mengajak Amal untuk duduk di pinggir jalur trek, istirahat entah sampai berapa lama. Untungnya setelah menunggu, kami bertemu kembali dengan tim kami.

Setibanya di bawah, saya senang bisa menyelesaikan perjalanan ini hingga tuntas. Merasakan lucunya sensasi tek tok, meski kenikmatannya tidak akan sama dengan bertenda di gunung.

Tapi daripada tidak sama sekali, lebih baik mencoba tek-tok kan?

Cheers!

Sepanjang Pos 1 sampai Pos 4 vegetasinya rapat
Pos 4 menuju Pos 5 mulai terbuka vegetasinya 
Mencari Warung Mbok Yem 

Awannya ajaib, ya 
Sumber air lagi setelah melewati Pos 5 

Kanan atas-kiri bawah: Akbar, Kak Ajeng, saya, Kak Rizal, Amal, Kak Ryu 

Catatan perjalanan

Total perjalanan naik: 9 jam 10 menit
Basecamp - Pos 1 (04.33-05.17)
Pos 1 - Pos 2 (05.46-06.22)
Pos 2 - Pos 3 (06.22-07.18)
Pos 3 - Pos 4 (08.59-09.48)
Pos 4 - Pos 5 (09.58-11.01)
Pos 5 - Gupakan Menjangan (12.05-12.40)
Gupakan Menjangan - Mbok Yem (12.40-13.43)


Mbok Yem - Puncak Hargo Dumilah: 20 menit
Puncak Hargo Dumilah - Warung Mbok Yem: 14 menit


Turun perjalanan turun: 6 jam
Mbok Yem - basecamp 16.55 - 22.20