6.10.2017

Mendaki Gunung Gede Saat Bulan Puasa

Foto: Ahmad Haidar
Pada awal Ramadan, salah satu teman saya menawarkan hal yang tidak biasa:

mendaki gunung saat puasa.

Teman saya memang anggota pecinta alam yang sudah ahli dalam dunia pegunungan. Mendaki sambil berpuasa pun sudah pernah dijajal olehnya. Sementara itu, saya hanyalah anak kemarin sore yang baru icip-icip naik gunung. Karena rasa penasaran mengalahkan akal sehat saya, akhirnya saya mengiyakan ide gila itu. Meskipun pada akhirnya saya tidak berpuasa, teman-teman saya tetap menjalankan kewajiban mereka. Kisah mendaki saat puasa ini merupakan pengalaman keempat teman saya.

Pendakian kali ini kami lakukan saat akhir pekan. Kami berlima mendaki Gunung Gede via Gunung Putri di Cianjur. Mengapa Gunung Gede via Gunung Putri? 

Gunung Gede masih dikategorikan sebagai gunung yang ramah untuk pemula. Selain itu, jalur Gunung Putri merupakan kawasan hutan rimbun sehingga kami tidak terpapar sinar matahari langsung. Jalur Gunung Putri memang terjal, namun jalur tersebut memiliki waktu tempuh yang singkat dibandingkan dengan jalur lainnya.

Saat puasa, terdapat perbedaan kondisi di kawasan Gunung Gede. Kami berencana untuk membeli makanan di basecamp untuk bekal buka puasa. Namun, baik pemilik basecamp, warung makan, hingga warga lain tidak memasak saat siang hari. Upaya berkeliling mencari sebungkus nasi pun tidak membuahkan hasil. Akhirnya, kami membeli nasi dan tahu yang baru saja matang saat kami hendak beranjak pergi dari basecamp. Selain itu, kami tidak menemukan pendaki selama di perjalanan menuju Surya Kencana. Begitu pula di kawasan camping, jumlah pendaki terbilang sedikit dibandingkan hari biasa.


Pendakian pada menit-menit awal memang terasa lebih berat, terutama bagi teman-teman saya yang berpuasa. Kami pun menerapkan manajemen waktu, 20 menit mendaki lalu 2 menit istirahat.

Jalur Gunung Putri terdapat beberapa pos yang harus dilalui, Legok Leunca (0,8 km), Buntut Lutung (2,7 km), Lawang Saketeng (3 km), Simpang Maleber (3,5 km), Alun-alun Surya Kencana Timur (5 km), dan Puncak Gede (8,5 km). Akan tetapi, penanda di setiap pos tidak banyak ditemukan. Berdasarkan info yang kami peroleh, papan penanda pos telah rusak serta belum diperbaiki.

Pos I ditandai dengan gapura selamat datang

Sepanjang perjalanan, sinar cahaya matahari tidak mampu menembus rimbunnya hutan. Akar-akar maupun batu berukuran besar menghiasi jalur Gunung Putri. 

Saat maghrib tiba, kami berhenti di tempat datar lalu berbuka bersama. Menu kami kali itu ialah tahu yang telah kami beli, baso dan udang yang kami masak dadakan. Yum! Teman-teman saya yang sudah lemas akhirnya semangat kembali. Kami ditemani kunang-kunang saat melahap dengan penuh kenikmatan.

Perjalanan pada malam hari terasa lebih berat mengingat minimnya cahaya dan suhu yang semakin dingin. Cahaya bulan masih sembunyi di balik pohon-pohon besar. Berbagai bayangan pohon memicu pikiran kami untuk berhalusinasi. Kami berjalan dengan lambat namun pasti. Pada akhirnya, kami tiba di Alun-alun Surya Kencana pukul 21.30 malam. Meski sudah cukup larut, kami memasak kembali untuk mengisi perut yang sudah kehabisan bahan bakar.

Tepat pukul 3 dini hari, kami bangun untuk mempersiapkan sahur dengan menu capcay. Rupanya, waktu memasak tersebut tidak cukup untuk kami. Alhasil, menu makanan kami berubah menjadi sayur sup #lah. Nasi yang kami buat hanya setengah matang. Lalu, kami baru sempat menikmati masakan saat waktu Imsak. Jujur, saya merasa tidak tega dengan teman-teman yang berpuasa. Minum pun terburu-buru.

Mentari tampak malu-malu menyambut para pendaki



Pukul 8.30, kami mulai mendaki menuju Puncak Gede. Sudah terlalu siang, memang. Dari awal berangkat hingga pulang, kami memang memiliki jadwal yang nyeleneh dibandingkan dengan pendaki lain. Berhubung teman-teman saya harus menghemat tenaga, kami berjalan dengan lambat sembari berbagi cerita.
Jalur menuju puncak Gunung Gede (Foto: Rizal Bahriawan)
Perjalanan dari Surya Kencana barat hingga puncak kami tempuh selama 80 menit. Setibanya di atas, kami disambut dengan lanskap Gunung Pangrango dengan kawah Gunung Gede sebagai pemanis. Kami langsung bergoler kenikmatan.  




Bahkan, pendaki lain turut membawa peliharaan kesayangannya
Kami mulai membereskan tenda lalu bergegas pulang pada pukul 15. Saat itu, kabut lebat mulai menghalangi jarak pandang kami. Perjalanan kami sesekali diwarnai gerimis tipis. Kami bergerak lebih cepat agar dapat berbuka puasa di basecamp. Namun, teman-teman saya rupanya harus lebih bersabar. Kami baru tiba di basecamp pukul 19. Untungnya, kami sudah menyiapkan air minum yang diambil langsung dari sumber air di Surya Kencana. Air tersebut merupakan air tersegar yang pernah membasahi kerongkongan saya! :') Tidak cukup, kami kembali meneguk air dekat perkebunan warga. Rasanya benar-benar plong.

Jadi, bagaimana supaya kuat mendaki saat berpuasa?
Berikut tips dari beberapa rekan saya.

  • Mantapkan niat. Sebelum berangkat, teman-teman saya memang membulatkan tekat untuk berpuasa di gunung. 
  • Persiapkan fisik. Untuk mendaki gunung, pendaki memerlukan latihan fisik seperti jogging atau naik turun tangga. Jika berpuasa, cobalah latihan fisik saat sedang berpuasa.
  • Pergi mendaki saat tubuh sudah menyesuaikan diri dengan puasa, seperti pada minggu kedua atau minggu ketiga Ramadhan.
  • Makanan bernutrisi. Meskipun sedang di gunung, makanan sehat tetap diutamakan. Hindari membawa makanan instan. Usahakan rumus 4 sehat 5 sempurna tetap dijaga.
  • Meskipun udara gunung pada pukul 3 pagi dingin, usahakan tetap sahur. Perhitungkan juga durasi waktu memasak.
  • Hemat tenaga. Beberapa tips kecil namun mujarab telah saya coba, seperti menjaga alur pernafasan melalui hidung (bukan mulut), tidak menghentakkan kaki dengan keras, dan berjalan perlahan namun konsisten. 
  • Ingatlah kapasitas diri.
Ingat petuah dari para pendaki: tujuan itu bukan puncak gunung, tapi rumah.

Kiri-kanan: saya, Amal, Kak Haidar, Ofi, Kak Rizal