Gunung Merapi dari Puncak Merbabu Foto: Satwiko Budiono |
Hari itu, kami mulai berkumpul di Stasiun Tawang, Semarang. Kami menelusuri perjalanan menuju Cepogo hingga Kecamatan Selo, Boyolali, selama 3 jam dengan mobil.
Setibanya di kaki Gunung Merbabu, kami memutuskan untuk menggunakan jalur baru, yaitu Jalur Gancik, Selo. Yup, keputusan yang mendadak ini dipilih karena kami tiba terlampau siang di posko. Pasalnya, jalur ini menyediakan jasa ojek untuk mencapai titik awal pendakian.
Sebelumnya, Jalur Gancik merupakan jalur evakuasi untuk menyelamatkan pendaki yang kecelakaan. Jalur ini digunakan untuk evakuasi karena memiliki waktu tempuh yang lebih singkat dibandingkan dengan jalur lainnya. Gancik tergolong "ramah" untuk pendaki pemula, seperti saya contohnya. Jalur Gancik akan bertemu dengan Jalur Selo di Pos III.
Kelebihan lain dari Jalur Gancik ialah adanya tugu pandang atau Gancik Hill Top. Gancik Hill Top ini menjadi daya pikat tersendiri bagi wisatawan lokal. Apabila hanya memiliki waktu singkat, pengunjung dapat sekadar menikmati pemandangan Merapi dari Gancik Hill Top. Aksesnya pun mudah, pengunjung dapat berjalan kaki atau menggunakan jasa ojek dengan biaya Rp10.000. Pengunjung hanya perlu membayar simaksi sebesar Rp5.000 untuk masuk ke area ini.
Gancik Hill Top yang masih dalam proses pembangunan Foto: Rizal Bahriawan |
Sembari mencari pola bernafas, saya melanjutkan perjalanan hingga akhirnya mencapai Pos 2 dalam waktu 1,5 jam. Detik demi detik terus bergulir. Entah berapa jumlah bulir keringat yang telah membasahi tubuh. Namun, itu semua belum seberapa. Setelah mencapai Pos 3 selama 50 menit, tantangan sesungguhnya baru menguji mental saya.
Saya harus merangkak di permukaan tanah yang cukup curam, mencumbu tanah Merbabu. Sesekali, saya harus bergantung pada uluran teman saya. Kami harus memilih pijakan tanah yang tepat agar tidak salah mengambil langkah. Karena saya yang paling awam dalam mencari pijakan, saya memilih berjalan paling belakang. Rasa kepercayaan diri terhadap kaki saya pun berangsur-angsur menciut. Saya berjalan lebih lambat daripada teman saya yang lainnya. Sumpah serapah mulai keluar dari dalam hati saya.
"Pokoknya, jangan mau naik gunung lagi. Cukup ini saja," rutuk saya waktu itu.
Matahari pun mulai menggelincir ke ufuk barat. Cahaya terang berganti dengan gemerlap bintang. Kami segera bergegas menuju Sabana 1. Perjalanan menuju Sabana 1 memiliki pemandangan yang menakjubkan bagi saya. Meski hanya memandang dalam kegelapan, saya dapat merasakan seperti berada di atas awan. Rasanya seperti berada di atas pesawat tak bersekat, tanpa aluminium atau fiber glass yang menghalangi. Lensa kamera tidak akan sanggup menangkap panorama Merbabu seindah mata ini.
Akhirnya, kami tiba di Sabana 1 pada pukul 8 malam lalu mendirikan tenda di area tersebut. Celsius dingin cukup menghunus jaket-jaket tebal kami. Kami pun tidak ingin membuang-buang waktu untuk segera menyalakan api, mempersiapkan makan, lalu beristirahat untuk menyambut summit attack besok.
Waktu untuk menyambangi puncak Merbabu pun tiba. Tubuh yang menggigil ini saya lawan dengan melakukan gerakan-gerakan ringan. Perjalanan dari Sabana 1 menuju puncak bermula sekitar pukul 03.30 dini hari. Saat itu, panorama di sepanjang Sabana 2 hingga puncak masih terselimuti gelap sisa langit semalam. Tak lama, semburat cahaya tampak perlahan muncul dari sisi kanan kami. Alam Merbabu mulai menyuguhkan sajian terbaiknya. Perjalanan menuju puncak menjadi tidak terasa karena kecantikan hamparan sabana di sepanjang perjalanan.
Ketika saya telah menginjak Puncak Trianggulasi, rasa syukur semakin menyelubungi diri saya. Memang benar, semua usaha terbayar ketika seseorang berhasil melampaui ujian yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Janji saya untuk tidak menaiki gunung lagi, perlahan runtuh. Saya ingin menyaksikan kilau yang tersimpan di gunung lainnya dengan mata sendiri.
Panorama gunung berapi tersingkap dari balik kabut yang sempat menyelimutinya. Tidak ketinggalan, jajaran Gunung Sindoro, Sumbing, dan Slamet dalam ukuran mungil setia menemani kami selama di puncak.
Panorama gunung berapi tersingkap dari balik kabut yang sempat menyelimutinya. Tidak ketinggalan, jajaran Gunung Sindoro, Sumbing, dan Slamet dalam ukuran mungil setia menemani kami selama di puncak.
Hamparan sabana Foto: Satwiko Budiono |
Foto: Satwiko Budiono |
Perjalanan turun memang memiliki tantangan yang berbeda dibandingkan dengan menaiki gunung. Kaki saya bergetar sepanjang perjalanan pulang, menahan tumpuan kaki yang belum bisa saya kendalikan. Akan tetapi, getaran yang saya rasakan hingga keesokannya itu tidak sebanding dengan kenikmatan yang ditawarkan oleh Merbabu.
Seseorang sering mengatakan bahwa tujuan mendaki gunung bukanlah mencapai puncaknya, melainkan kembali menuju rumah. Akhirnya, kami berhasil menuruni Jalur Selo selama 2,5 jam lalu bergegas menuju kotanya para seniman.