9.04.2024

Menumbuhkan Manusia


Awalnya, kedatangan dia bukan bagian dari rencana. Tapi, tanpa sadar aku dibuat jatuh hati secara perlahan. Pasti. 

Aku bersyukur bisa menyaksikan ia tumbuh, mempersiapkan kehidupannya. Aku mengamati tangannya, dulu kecil tak berdaya. Sekarang, tangan itu tetap mungil, namun ia sudah memiliki banyak fungsi: makan, memotong, memasang balok. Ia juga bisa meniru aktivitas orang dewasa. Bagaimana itu bisa terjadi?

Aku suka mengendus harum tubuhnya. Rambut, leher, dan ketiak yang beraroma masam itu bagaikan semerbak rumah nenek yang memberi rasa nyaman. Aku suka semua itu, termasuk bau air liurnya. Tapi, jangan bahas tentang tinja.

Tidak ada hari tanpa pelukan. Aku dekap tubuh kecilnya setiap pagi dan sore hari. Oh, tidak hanya itu. Sering kali aku mencuri kesempatan untuk menciumnya saat ia merengek untuk digendong. Aku juga selalu menahan diri untuk tidak meremas tubuhnya karena terlalu gemas. Maafkan aku, Sayang.

Dulu aku memang mengeluh karena waktu dan tenaga yang ia renggut. Sekarang, aku takut tidak bisa melepas genggaman tangannya. Aku tidak bisa membayangkan perpisahan dengannya yang tak mungkin terelakkan. Semua akan mati, bukan?

Agustus 2024


4.12.2020

Titik Tertinggi Kei Kecil di Bukit Masbait


Sedikit kilas balik perjalanan ke Pulau Kei, Maluku Tenggara pada Agustus 2018 lalu. Cukup sulit memang, mengingat peristiwa yang sudah terlewati beberapa tahun yang lalu. Tapi, ada tumpukan draf tulisan yang sempat tak terjamah, menanti untuk diselesaikan.

Perjalanan bersama Hanung ini terbilang cukup spontan. Kami pun menyusun rencana perjalanan serta menyelipkan destinasi Bukit Masbait di dalamnya.

Terletak di Desa Kelanit, Bukit Masbait dikenal sebagai bukit doa bagi umat Katolik. Saat hari raya Paskah, Bukit Masbait menjadi tempat bagi umat Katolik untuk berziarah. Kabarnya, prosesi jalan salib kerap dilakukan saat hari Jumat Agung.

Sempat ada keraguan untuk mengunjungi Bukit Masbait walau sekadar mampir, sebab saya dan Hanung mengenakan kerudung. Ternyata, bukit ini dibuka untuk siapa saja. 

Perjalanan dari pusat kota Langgur menuju Bukit Masbait membutuhkan waktu sekitar 30 menit. Setibanya di Desa Kelanit, tidak ada penanda jelas yang menunjukkan lokasi Bukit Masbait ini. Saat itu, kami dipandu oleh Auli yang sudah beberapa tahun terakhir menetap di Kei. 

Setelah memarkir motor, saya dan Hanung harus berjalan kaki dengan dataran yang cukup curam. Sepanjang jalan, kami disuguhi oleh papan yang menceritakan sejarah nama asli Marga Kelanit. 

Kelanit berasal dari dua suku kata dalam bahasa Sansekerta, yaitu Kel dan Anit. Dalam bahasa Indonesia, Kelanit memiliki arti 'bayi laki-laki' atau 'anak laki-laki'.

Usai menanjak sekitar 15 menit, kami disuguhi oleh sejumlah diorama dengan pesan rohani. Di hadapan kami, patung Kristus Raja telah berdiri tegak dengan ukuran sekitar 3 meter. Patung Kristus Raja tersebut merupakan hadiah dari Paus Paulus II dari Roma sebagai simbol perdamaian.




Penasaran dengan keindahan Kei dari ketinggian, kami pun menapaki tangga besi untuk mencapai menara yang menjadi titik tertinggi Pulau Kei. 

Setibanya di atas, mata kami dimanjakan oleh hamparan laut dengan gradasi biru yang beragam. Anginnya pun sejuk betul. Ah, ingin rasanya bengong seharian di sini.

Saya yakin, tempat ini akan menyajikan momen sunset dengan cara terbaiknya. Namun, kami hanya menghabiskan waktu sesaat serta beranjak dari tempat tersebut.


Padang Pasir Putih di Pantai Ohoidertawun

Usai menyambangi Bukit Masbait, kami mengunjungi Pantai Ohoidertawun.  Di pantai ini, kami bisa menyaksikan fenomena unik: air laut yang surut hingga puluhan kilometer! Masyarakat lokal biasa menamakan peristiwa ini dengan meti kei yang berarti 'pasang surut'.  Titik surut terendah biasanya terjadi pada September hingga Oktober.

Mengutip dari laman Pemerintah Kabupaten Maluku Tenggara, pasir putih di pantai tersebut menjadi sangat luas, lebih dari 200 meter saat air surut. Pasir tersebut juga dapat digunakan untuk sarana sepak bola pantai.

Kami beruntung hari itu karena pantai sedang sepi-sepinya. Saya pun kembali membayangkan suasana Pantai Ohoidertawun ketika senja menjemput malam. 



Pantai Ohoidertawun menjadi destinasi terakhir saya di Pulau Kei. Keesokannya, saya harus bergegas ke Ambon untuk bertolak ke Jakarta. 

Kei Kecil masih menyimpan banyak pantai dengan kelembutan pasirnya, berbeda dengan pantai lainnya yang pernah saya jumpai. Semoga ketika kembali, keindahanmu masih seperti sediakala.


Cheers!

4.03.2019

Pulau Bair: Mini Raja Ampat di Kei Kecil



Terletak di Pulau Kei Kecil, Maluku Tenggara, Pulau Bair ternyata memiliki panorama yang tak kalah dengan Raja Ampat di Papua. Dari pusat kota Langgur, kami menuju Desa Dullah yang ditempuh selama 25 menit. Untuk menyeberang dari Desa Dullah menuju Pulau Bair, kami harus merogoh kocek sebesar Rp500 ribu untuk satu perahu. Ah, saya pikir tidak ada salahnya untuk mengintip Pulau Bair dengan laguna tersembunyinya.   

Kami berempat mulai menaiki perahu satu per satu. Mesin pun dinyalakan, memecah keheningan laut kala itu. Hanya ada suara mesin dan riak yang tersapu oleh perahu. Cuaca juga tampaknya mendukung perjalanan kami.

Pulau yang kami idam-idamkan mulai tampak di depan mata. Perlahan-lahan, laut yang berwarna biru tua mulai berubah menjadi biru pirus. Tebing-tebing dengan sekawanan burung berkeliaran turut menghiasi panorama Pulau Bair.  

Dalam bahasa setempat, Baer memiliki arti "tidak terlihat". Ya keindahannya memang tersembunyi namun sungguh melenakan mata. Hamparan pasir putih tampak begitu jelas dari atas kapal. 

Kapal mulai bergerak perlahan seiring dengan air laut yang semakin surut. Laut yang kami susuri juga kian mengecil, terhimpit oleh tebing-tebing. Sang nahkoda pun mematikan mesin kapal, seakan mempersilakan kami untuk menikmati kedamaian laut itu.





Di antara tebing-tebing tadi, ada laguna tersembunyi yang tidak dapat dilalui oleh perahu. Artinya, pengunjung harus berenang untuk menemukan laguna tersebut. Namun, kami berkeliling dengan penduduk yang tak biasa mengantar berwisata sehingga tidak mengetahui keberadaan laguna itu. 

Meski begitu, saya tetap mensyukuri apa yang kami temui. Kami dapat berenang sesuka hati tanpa ada pengunjung lain. Kami juga menikmati lanskap Pulau Bair dari atas tebing. Dari situ, tampak jelas alasan pulau ini disebut sebagai miniatur Raja Ampat. Siapa yang tidak terpikat dengan Pulau Bair? Saya pun semakin tidak sabar untuk berendam hingga jari-jari keriput. 






Usai berendam diri, kami pindah menuju spot snorkeling yang tak jauh dari Pulau Bair. Lagi-lagi, kami tidak bertemu dengan pengunjung lainnya di spot tersebut. Cukup banyak kawanan ikan dan kumpulan karang, namun teman-teman lain memilih bersantai di atas perahu. Sementara itu saya asyik berenang di dekat perahu.

Waktu pun bergulir begitu cepat. Kami pun menyudahi perjalanan dan kembali ke Dullah. Kami pun masih memiliki dua hari lagi untuk meniliki pesona Pulau Kei lainnya.

Cheers!

3.09.2019

Pelarian Akhir Pekan ke Ungaran

Gunung Ungaran bisa jadi salah satu solusi untuk pelarian pada akhir pekan. Kenapa? Pendakian gunung ini termasuk lebih singkat bila dibandingkan gunung lainnya, sekitar lima jam —estimasi menggunakan carrier—dari base camp sampai puncak. Ketinggiannya pun mencapai 2.050 mdpl, lebih rendah dibandingkan gunung lainnya.

Saya dan rombongan berangkat dari Jakarta menggunakan Kereta Tawang Jaya nyaris tengah malam. Lama perjalanan yang ditempuh sekitar tujuh jam hingga tiba di Stasiun Semarang Poncol. Ah, betapa rindunya saya berada di dalam kereta dengan perjalanan yang cukup lama, meskipun punggung harus tegak selama terlelap.

Oh ya, awalnya saya sempat menduga destinasi perjalanan kali ini merupakan sebuah bukit, yang tentunya nggak perlu persiapan gono-gini. Jadi perjalanan ini saya lakukan tanpa persiapan fisik sama sekali. 

Padahal, Ungaran merupakan sebuah gunung. Ya yang namanya gunung, sejatinya tetap saja gunung. Jadi, jangan sesekali menganggap remeh gunung, apalagi seperti saya yang dasarnya jarang ke gunung..  
Dok. Ahmad Haidar
Kami tiba di Stasiun Semarang Poncol dan rehat sejenak di rumah temannya teman saya. Setelah mempersiapkan amunisi, kami memulai perjalanan menuju Stasiun Tawang. Dari situ, kami menggunakan TransJateng dan (seharusnya) turun di Pasar Bandungan. Karena kebablasan, kami turun di Terminal Bawen lalu dilanjutkan dengan angkot yang serupa elf menuju Polin. Perjalanan disambung dengan angkot yang kami sewa hingga base camp Ungaran.

Setiba di base camp, rintik hujan mulai membasahi Ungaran. Semesta sepertinya ingin membuat saya senang dengan memberikan pengalaman baru: mendaki saat hujan. Ya, ini merupakan pertama kalinya bagi saya. Bila tak hujan, saya tidak akan pernah tahu daya tahan rain cover yang saya bawa. Di sisi lain, saya harus rela mendapati buku di dalam tas yang terlanjur basah.

Untungnya, kami diberkahi jalur bonus dari base camp sampai pos 3. Selain itu, jalur ini juga menawarkan sumber mata air, tepatnya sebelum pos 2. Pendakian kami tempuh di tengah ritme hujan gerimis-reda-gerimis-reda. Beberapa kali kami juga menemukan pacet dalam pendakian ini.


Setelah memperhitungkan estimasi waktu, kami memutuskan bertenda di pos 4. Sesaat setelah tenda berhasil dibangun, ternyata hujan deras turun. Kami pun segera membersihkan diri dan makan malam, lalu dilanjutkan istirahat.


Summit Attack

Meski hujan turun semalaman, pagi hari di Ungaran tidak terlalu dingin. Namun, bebatuan terjal sudah siap menyambut kami. Pendakian dari pos 4 menuju puncak diwarnai dengan langkah kaki yang tinggi —lutut bertemu dengan perut—. Tak jarang, saya juga menggunakan bantuan tangan untuk menggapai bebatuan lainnya. Walau terdengar sulit, nyatanya banyak pendaki yang memilih bertenda di dekat puncak.

Setibanya di puncak, saya menemukan bayang-bayang tiga buah gunung, entah apa namanya. Bila dibandingkan gunung lain, memang pemandangannya tidak terlalu menawan. Namun tetap memikat bagi penduduk kota seperti saya.

Dok. Ahmad Haidar




Dok. Ahmad Haidar
Usai kembali dari puncak, kami bergegas merapikan tenda dan menuju base camp Mawar. Waktu yang tersisa tidaklah banyak. Kami harus tiba di Stasiun Semarang Poncol pada 13.00. 

Tapi entah bagaimana, kami justru berbelok melewati jalur turun yang berbeda. Kami melintasi perkebunan teh dan kopi pada perjalanan pulang. Meski menyenangkan, pendaki yang melalui jalur itu harus mengeluarkan biaya retribusi yang dihitung per kepala. Setelah disusuri, ternyata jalur perkebunan tersebut kembali bertemu dengan jalur menuju base camp Mawar.

Setelah sampai di base camp, tidak ada kesempatan bagi kami untuk membersihkan diri. Kami memilih naik ojek menuju jalan raya, kemudian disambung angkot carter hingga Stasiun Semarang Poncol. 

Pelarian akhir pekan ini memang terbilang singkat. Namun, perjalanan ini akan menjadi cukup untuk melupakan sejenak kehidupan ibu kota. Gunung Ungaran juga memberikan pelajaran, pengalaman, dan teman-teman baru yang menyenangkan.

Cheers!

Full team: Kak Denny, Karin, Kak Fadhil, Kak Felix, Kak Anas, Kak Rizal, Kak Hai










Rincian biaya (tanpa makan)
23-24 Februari 2019

Kereta Tawang Jaya PP : Rp300.000

TransJateng (tas dihitung 3)  : Rp3.500/orang 

Angkot elf terminal—Polin  : Rp3.500/orang

Angkot carter Polin—Mawar : Rp200.000

Tiket masuk basecamp : Rp5.000/orang

Tiket pendakian : Rp5.000/orang

Sewa tenda dan matras : Rp150.000

Retribusi kebun teh Sekendil : Rp5.000/orang

Ojek base camp—pasar (7 orang) : Rp150.000

Angkot Ungaran—Stasiun Poncol : Rp250.000


1.27.2019

Menginjakkan Kaki di Pulau Kei

Baru kali ini saya merasakan berada dalam sebuah pesawat, namun cukup lama. 

Saya bertolak dari Jakarta menuju Maluku Tenggara, tepatnya Pulau Kei. Sedikit membosankan memang, menempuh perjalanan selama 7 jam. Apalagi, perjalanan yang seharusnya ditempuh berdua dengan kawan saya, Hanung , terpisahkan oleh waktu penerbangan yang berbeda. Ini murni kesilapan kami saat memesan tiket.

Tapi, saya menikmati setiap detik berada di ketinggian. Mengamati secuil semesta yang tersingkap dari balik jendela pesawat, bagi saya tidak pernah menjemukan. Bila perlu, saya akan menutup novel di tangan, mematikan layar TV, menahan kantuk, lalu mengamati hamparan dari pesawat.

Hari itu saya bertolak pukul 6 pagi dari Jakarta. Saya singgah selama 50 menit di Ambon, lalu pindah ke pesawat jenis ATR. Pesawat kecil itu pun berhasil menginjak Kepulauan Kei pada 13:50 WIT.

Setibanya di Kei, saya bertemu dengan Auli, teman SMA Hanung yang merantau demi kariernya. Saya juga berkenalan dengan teman Auli yang merantau di Tanah Evav tersebut. Tanpa mereka, tidak akan ada perjalanan menuju Pulau Kei ini.

Tidak banyak yang kami lakukan pada hari pertama. Saya dan Hanung menghabiskan waktu dengan berkenalan dengan teman-teman Auli serta mencari pengganjal perut.


Biru Permata di Goa Hawang

Memasuki hari kedua, kami mengunjungi Goa Hawang di Desa Letvuan, 16 kilometer dari Langgur. Keindahan goa ini tidak akan saya lupakan. Warna biru yang dipancarkan dari airnya bagai permata tersembunyi. Goa ini juga dihiasi dengan stalaktit dan stalakmit berusia ratusan tahun. Sementara, airnya berasal dari tanah.

Kabarnya, orang yang berenang di goa ini akan awet muda dan enteng jodoh. Nggak mau rugi, saya tak mau melewatkan kesempatan ini. Lol.


Dok. Hanung WL

Waktu terbaik untuk mengunjungi goa ini ialah pukul 13.00-14.00. Kenapa? Pada waktu tersebut, cahaya matahari akan masuk ke dalam goa. Tanpa sinar matahari langsung, air akan terasa dingin dan... lebih gelap tentunya.

Saya datang sekitar pukul 11 saat sinar matahari sayup-sayup menembus celah pohon dan mulut goa. Saat berenang, sesekali saya membayangkan hal mistis karena pandangan yang cukup gelap. Oh ya kabar lainnya, hawang memiliki arti 'arwah'. Masyarakat setempat percaya adanya arwah terkutuk dalam goa ini.

Seandainya tidak diburu waktu, ingin rasanya berlama-lama dalam goa ini. Misterius, tapi menawan di mata saya.

Selepas dari Goa Hawang, kami rehat sejenak di pantai terdekat, menanti kawan kami melaksanakan Solat Jumat. Oya, masyarakat Desa Letvuan sebagian besar memeluk agama Kristen. Jadi, sulit untuk menemukan masjid di daerah ini. Beruntungnya, kami masih menemukan satu masjid yang ditempuh sekitar 15 menit dengan menggunakan motor dari Goa Hawang.

Siang harinya, kami mengunjungi rumah makan sea food, yang saya lupa lokasi persisnya. Tak ketinggalan, kami memesan salah satu makanan khas Kei, yaitu embal. Embal terbuat dari singkong yang beracun, rasanya pun unik: tawar namun tetap nikmat di lidah saya. Ah, atau ini karena saya hobinya mengunyah?

Cara pembuatan dan bentuknya pun bermacam-macam. Ada yang dicetak, dijadikan bubuk, digoreng, dan lainnya. Untuk menyantapnya, bisa digado, dimakan dengan ikan kuah atau lainnya, bisa ditemani dengan teh. 

Dok. Hanung WL

Pasir Terlembut di Pantai Ngurbloat

Salah satu momen yang tidak boleh saya lewatkan ketika di pantai ialah menyaksikan matahari tenggelam. Kami mengunjungi Pantai Ngurbloat atau biasa disebut Pantai Pasir Panjang yang terletak di Tual. Ketika saya menginjakkan kaki di pantai ini, saya bersumpah bahwa pasir di pantai ini merupakan pasir terlembut yang saya rasakan. Seperti tepung!

Senja yang disajikan di pantai ini pun tak main-main, begitu sempurna. Saya menyaksikan senja di cakrawala tanpa batas. Sore itu terasa begitu sempurna buat saya. 






Perjalanan yang telah kami lewati hari ini membuat saya semakin penasaran. Kami masih memiliki waktu selama empat hari ke depan untuk mengunjungi Pulau Bair, Bukit Masbait, Pantai Ohoidertawun, dan Morella Ambon.

Jadi, keindahan apa lagi yang akan ditawarkan Pulau Kei? Mengapa kamu bisa begitu menawan?


8.06.2018

Menyapa Negeri Morella


Tak pernah terlintas di kepala tentang keindahan Ambon. Apalagi menginjakkan kaki di tanah rempah-rempah itu.

Saya hanya memiliki waktu selama 5 jam untuk singgah di Ambon, menanti penerbangan selanjutnya menuju pangkuan ibu kota. Lebih tepatnya, saya mendapat kesempatan transit pada penerbangan Kepulauan Kei, Maluku Tenggara-Jakarta. Awalnya saya tidak tahu harus membunuh waktu dengan gaya apa, sampai akhirnya bertemu dengan Rahmi. 

Kami baru saja berkenalan di Tual, Kepulauan Kei. Dengan semangatnya yang meletup-letup, Rahmi merekomendasikan setitik permata di bawah laut, yaitu Lubang Buaya, tepatnya di Desa Morella, Leihitu, Ambon. Ia mengatakan, memang cukup riskan untuk mengunjungi Lubang Buaya dalam jeda transit lima jam. Namun, jika saya cukup nekat dan supir menyanggupi, Rahmi yakin saya dapat menelisik Lubang Buaya lalu namaste di dalam pesawat. Di satu sisi, kawan saya yang lainnya justru menggelengkan kepala, pertanda waktu yang saya miliki tidak cukup untuk ke Lubang Buaya. 

Akhirnya, saya mengikuti saran Rahmi.

Sampai hari kepulangan tiba, saya berusaha menghemat waktu dengan segala cara. Mulai dari menggendong ransel yang beranak pinak sampai dalam kabin pesawat, membalut diri dengan baju renang, hingga menahan hasrat ke toilet. 

Pesawat yang saya tumpangi telah lepas landas pada pukul 6 pagi dan tiba di Ambon satu setengah jam setelahnya. Ketika kaki ini telah menyentuh Ambon, saya segera menghubungi Bang Ical dan Bapak Levy yang sudah menanti di pintu kedatangan penumpang.

Kami melesat menuju Negeri (Desa) Morella selama satu jam. Bang Ical pun menyuguhi kisah dari tempat tinggalnya, Leihitu. 

Leihitu memiliki tradisi bernama Baku Pukul Manyapu yang digelar tujuh hari selepas Idul Fitri. Ya, jangan heran karena penduduk Leihitu memeluk Islam.

Melansir dari laman Kodam XVI Pattimura, Baku Pukul Manyapu atau pukul sapu lidi mencerminkan perlawanan antara pasukan Kapitan Tulukabessy dan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Sebelum dimulai, warga akan menampilkan pertunjukan tarian hingga atraksi bambu gila. Yang menarik, acara intinya ialah tradisi pukul memukul dengan sapu hingga badan terluka. Eits, jangan resah dan gelisah dulu. Sebab warga setempat juga mempunyai obat mujarab berupa getah pohon jarak atau minyak tasala.

Adat ini sempat menjadi konflik pengakuan antara Desa Morella dan Desa Mamala. Namun, permasalahan tersebut sudah larut dalam kebersamaan kedua desa itu.

Tanpa terasa, kami akhirnya tiba di Morella, sebuah desa cilik yang hangat. Sebenarnya, Morella masih menyimpan banyak destinasi pantai. Namun, saya masih belum puas untuk menyapa kawanan ikan.

Beruntungnya saya di hari itu, langit sedang terik-teriknya. Warna biru pirus tampak memantul dari kejauhan. Saat itu tak ada kehadiran pengunjung lain, sebuah pengalaman mewah bagi saya. Ah, rasanya tidak sabar membenamkan diri ke laut!

Lubang Buaya memiliki hamparan karang yang begitu luas. Taman koral tersebut membentuk tebing dengan goa besar yang bisa dinikmati dengan diving. Tapi tidak perlu khawatir, aktivitas snorkeling di tempat ini juga menjanjikan banyak hal. Untuk pertama kalinya, saya bisa melihat tebing yang ditumbuhi karang lalu menjorok ke palung dalam. Meski membentuk palung, habitat ikan ini memanjang di sepanjang pulau, seakan tak ada habisnya!

Di tempat ini pula, saya baru bertemu dengan ikan cantik serupa bunga. Namun, keindahannya juga mematikan bagi manusia karena racun yang ia miliki. Tidak ketinggalan pula, saya dapat mengamati sekelompok ikan yang diam namun berjajar rapi. 'Ikan upacara', begitu saya menamai mereka.
Can you spot the fish?
Meski lanskapnya begitu membuai, rasa was-was tetap menghampiri saya. Iya, saya mempercayai prinsip 'jangan menyelam sendiri'. Tentu saja pedoman itu berlaku untuk snorkeling. Lagipula, dekat karang tersebut terdapat jurang yang belum ditemukan dasarnya. Terkadang, saya bisa panik sendiri jika melihat laut tak berujung. Jadi, saya meminta Bang Ical untuk menemani snorkeling. Sementara itu, Bapak Levy memilih bercengkrama di daratan karena ia kerap mabuk dengan laut. 

Pikiran saya tertuju pada sekelompok ikan yang asyik berenang. Kira-kira, apa yang ada di pikiran mereka? Tak lama kemudian, Bang Ical memanggil saya. Katanya, ia baru saja terkena sengatan ubur ubur.

Ah ya, jika ingin ke Lubang Buaya, ada baiknya membawa snorkeling gear sendiri. Sebab, Bang Ical yang lupa membawa peralatannya, merasa tidak cocok dengan alat mask yang disewakan.




Si ramah Bang Ical :)
One of my fav! Bunga serupa putri malu
Waktu memang bergulir terlalu cepat. Tanpa terasa, jari-jari mulai keriput. Matahari mulai bergerak menuju puncaknya. Bercengkrama dengan ikan setempat harus dicukupkan dalam waktu satu jam lima belas menit. Waktu keberangkatan pesawat semakin dekat. Kami segera membasuh diri, tanpa sempat membersihkan peralatan apalagi menikmati Lubang Buaya dari daratan.

Saya tau ini gila. Kami baru saja melesat ke bandara pada 2 jam sebelum pesawat lepas landas. Catat, sebelum pesawat lepas landas. Padahal waktu perjalanan yang harus ditempuh hampir satu jam lamanya haha. 

Sepanjang perjalanan, saya tiada henti-hentinya merapalkan doa. Namun nasib memang nasib, kami justru terjebak di tengah perjalanan karena warga yang memotong pohon di siang bolong. Pohon itu dibiarkan jatuh melintangi jalan, menghalau setiap pengendara yang ingin lewat. Kabarnya, warga setempat memang biasa melakukan hal ini.

Rasanya, emosi hingga ubun-ubun bercampur perut mulas menyergap secara bersamaan. Beruntung, warga akhirnya membelah pohon tersebut sehingga kami dapat lewat. Bapak Levy pun menyetir dengan cekatan sehingga saya masih sempat mengejar penerbangan meski sudah memasuki panggilan terakhir. Dengan izin semesta, saya masih bisa ikut duduk manis di dalam pesawat.

Sungguh lima jam yang gila, tapi saya terlanjur jatuh hati. Lubang Buaya memang seperti berlian tersembunyi. Terpencil, namun keelokannya melenakan jiwa. Untuk pertama kalinya pula, saya menitikkan air mata karena mengunjungi suatu tempat. Semoga kelak saya dapat dipertemukan kembali dengan Amboina.

Amatoo!


7.14.2018

Perjalanan



Untuk pertama kalinya aku mensyukuri jarak perjalanan cukup jauh yang harus kami tempuh, dari kota hujan sampai bandar udara

Aku tenggelam dalam kisahnya

Tutur katanya seakan membuatku lupa tujuan

Aku pun bertanya-tanya, mengapa lalu lintas saat itu bebas dari hambatan?

Waktu dua jam terasa bagai kedipan mata

Hingga tibalah kami di akhir perjumpaan

Langkah kakinya mulai bergerak menjauh

Hingga tersisa aku, menyaksikan punggung yang pergi perlahan

Entah kapan kami akan kembali dipertemukan

***

Pagi ini rasanya ada godaan berat untuk membukakan mata dan menunaikan ibadah.
Lucunya, Allah seperti tak kehilangan cara untuk mengingatkan umatnya.
Ia mengirimkan seseorang yang mendampingiku solat, meski hanya melalui mimpi.


(14/7/18)